Aku Putera Daerah Yang Dibanggakan atau Dianak Tirikan?

 


Oleh. Moh. Naiem (Ketua Umum KMBY, 2019/2020).

Siapa yang tidak mau kuliah di daerahnya sendiri, di tanah tempat ia lahir, menyatu dengan budaya dan kultur setempat, mengamati dan mengkritisi, lalu membangun daerahnya sendiri ? Saya rasa semua kita mau (meskipun tidak dipungkiri di antara kita ada yang memang bercita-cita kuliah ke tempat yang jauh).

Namun, terkadang kenyataan berkata lain, selain ditolak dalam tes seleksi perguruan tinggi (PT) yang diimpikan, biasanya, biaya yang harus dibayar tergolong mahal. Ada juga PT yang terjangkau, namun kurang pas dengan minat kita dikarenakan faktor jurusan dan PT tersebut masih berusia muda.

Terkadang, saya juga berandai-andai, "Coba saya jadi santri di pesantren ini dan itu yang sudah punya jatah kursi di PT ternama di daerah saya, andai saya punya orang di civitas akademika kampus tujuanku, pasti saya sudah mulai kuliah, atau andai saja saya anak orang kaya yang bisa lewat jalan dalam atau birokrasi kampus, yang bisa membeli kursi kampus, mungkin saya sudah semester sekian," Rutukku. Ah, tak boleh berandai-andai seprti itu, itu perilaku curang meski benar!

Akhirnya, saya mencari suaka ke kampus lain yang jauh di luar provinsi melalui jalur yang disediakan pemerintah. Alhamdulillah, saya diterima di kampus tujuanku. Akan tetapi, sejak itulah saya merasa jauh dan terusir oleh daerahku sendiri. Segala hal tentang daerahku mulai buram dari jangkauan, seperti hal ihwal perkembangan daerah, birokrasi, sosial-ekonomi dan lainnya sudah mulai sulit saya akses lantaran keterbatasan informasi.

Bukan hanya itu, mungkin iya daerah orang menerima saya kuliah, akan tetapi di sisi lain juga ada tuntutan biaya hidup, ini juga menjadi ujian tersendiri bagi putera daerah di tanah rantau; keadaan ini memaksa beberapa putera daerah harus banting setir dari yang awal tujuannya kuliah menjadi kuli, entah menjadi penjual koran, koki kafe, kasir toko dan kerjaan lainnya. Akhirnya ia mengalami disorientasi antara kuliah dan bekerja, ini juga yang menyebabkan mahasiswa perantau tidak kunjung lulus kuliah.

Cobaan tidak berhenti di situ, sukses dalam bidang akademik di daerah orang, belum tentu diterima dan sukses di daerah sendiri. Ya, meninggalkan daerah selama 4 tahun atau lebih, bukan suatu hal yang sederhana bagi putera daerah. Dalam kurun waktu itu, tentu perubahan daerahnya sudah berjalan tanpa hadirnya dirinya, bahkan peran sebagai agent of change diambil alih putera daerah yang bersentuhan langsung dan juga sekaligus memperoleh keberuntungan kuliah di daerahnya. Di situlah titik ketertinggalan yang hakiki bagi putera daerah yang merantau.

Ya, bagitulah  kesulitan pulang ke daerah sendiri bagi putera daerah karena link saja minim, dan, jiwa kurang menyatu dengan daerah, teman tetaplah teman, akan tetapi jika sudah berbicara kepentingan, posisi, gerakan, maka kita bukanlah partner mereka seperti hari-hari biasanya. Di samping itu, susunan pergerakan di daerah sudah berlapis-lapis dengan identitas masing-masing, tidak sembarang orang bisa masuk dan membaur.

Lalu, di tengah mis yang begitu kompleks, masihkah kita berani datang dengan gagasan perubahan, menyumbangkan ide dan lain sebagainya ?. Hallo, siapa kamu ? Anak siapa, NU atau Muhammadiyah, PMII, HMI, GMNI atau dari golongan apa?.

Ah, aku ini putera daerah yang dibanggakan atau dianak tirikan?

0 Komentar