KMBY Tanggapi Kasus Pelecehan Seksual di Bangkalan dengan Diskusi Online



Yogyakarta, kmby- Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyarata (18/07/2020), melaksanakan diskusi online via google meet. Adapun tema yang diusung adalah “Paradoks Kekerasan Seksual & Kota Dzikir dan Shalawat.” Tema ini berkaitan erat dengan kondisi kekerasan dan pelecehan  terhadap peremuan di kabupaten Bangkalan.

Ada beberapa hal penting yang menjadi problem mendasar, selain problem epistimologi tapi juga problem aksiologi. Lebih-lebih terhadap gelar Bangkalan sebagai Kota Dzikir dan Shalawat serta relevansinya dengan kondisi sosial yang tidak mencerminkan prilaku religiusitasnya.

KMBY menghadirkan Mohammad Fauzi S. Ag, S.IP., M.Si (Dosen UINSA) sebagai pemateri I dan Romli Muallim S.Ag sebagai pemateri II. Keduanya merupakan putera terbaik Bangkalan dan Alumni KMBY. Sebagai pemandu acara dimoderatori oleh Misbahul Wani, anggota aktif KMBY.

Secara garis besar, setidaknya ada 2 hal yang menjadi basis pembahasan, yaitu basis struktural dan basis  sosial budaya. Kemudian dari dua hal tersebut akan diperluas peran dan fungsi masing masing-masing. pertama, struktural; yang dimaksud dengan basis struktural adalah peran dan fungsi pemerintah sebagai pelayan masyarakat.

Sejauh ini, kabupaten Bangkalan belum optimal melakukan peran dan fungsi struktural. Keterpaduan antara lembaga berwenang dan lembaga afirmasi secara kualitas masih perlu dipertanyakan respect-nya terhadap kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan. Budaya patriarki menjadi persoalan yang menghantui kau perempuan.

Menurut Kang Fuazi sebanarnya arus utama sedini mungkin untuk melakukan pencegahan bisa melalui pendidikan, sosialisasi dan keterlibatan Mahasiswa KMBY (secara khusuus) dan mahasiswa bangkalan (secara umum) terhadap masyarakat. Argumentasi ini juga diperkuat oleh Pemateri kedua, yaitu dengan istilah character building, sekolah/pendidikan, dan yang terkahir melbatkan diri dalam kegiatan masyarakat atau kita kenal dengan istilah gerakan kultural.

Faktor-faktor pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di bangkalan sempat disinggung oleh Bang Romli, diantaranya adalah tumbuh suburnya budaya patriarki, penyalahgunaan kursi kekuasaan, dan yang terakhir ketidaktahuan masyarakat terhadap pentingnya melihat perempuan dengan mata yang sama dan bahkan parahnya, akibat ketidaktahuan tadi, budaya patriarki itu dinikmati sebagai kebiasaan, budaya dan akhirnya menjadi karakter.

Oleh sebab itu, penting sekali merekontruksi budaya lokal yang selama ini direnggut habis oleh ketidakpastian hukum, pemikiran tentang perempuan yang parsial (khususnya yang dipengaruhi oleh narasi keagamaan), dan tidak padunya kebijakan publik, baik kebijakan dari tingkat desa sampai tingkat kabuapaten maupun kota.

Ada bebarapa rekomendasi pemateri dan masukan dari anggota diskusi, sebagai bentuk upaya dan sistem melakukan pencegahan;

pertama, Mepertegas RUU PKS sebagai acuan dan urgensi tanggap terhadap kekerasan seksual

Kedua, membentuk gerakan sosial (posistion war dan action war)

Ketiga, sosialisasi dan pendidikan relasi gender
Aksi kolaboratif,

Terakhir, Aspirasi terhadap dewan terkait, dan
Mempertegas amanah perda nomor 6 tahun 2019 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPT2A)

Setidaknya, apabila tidak ada upaya pencegahan dan gerakan yang masif, selamanya tubuh perempuan akan terbuang sia-sia. –Mohammad Fauzi.

Bagian kedua pembahasan berbasis sosial-budaya (social-culture); maraknya aksi kekerasan seksual di Bangkalan perlu disikapi sebagai gejala sosial, bukan gejala pribadi antara pelaku dan korban saja.

Kehadiran ormas, forum mahasiswa dan instansi sosial masyarakat memiliki peran besar. Khususnya pentingnya menggagas gerakan peduli kekerasan seksual, aktivis pro gender-perempuan untuk meng-eliminer kekerasan seksual.

Beban epistimologi sebagai kota Dzikir dan Shalawat juga perlu dicermati. Secara nomatif sah saha saja; berikut sesuai dengan Peraturan Daerah 15 juli 2019,  nomor 2 tahun 2019. Akan tetapi secara aksiologi perlu dirumuskan bersama-sama. Redaksi itu hidup, didalamnya terkandung sebuah gagasan dan cita-cita mulia, yaitu diharapkan warga Bangkalan menjadi warga religius dan penuh kasih sayang terhadap sesama.

Misalnya memahami dan mereduksi pemikiran Imam asy-Syatibi (8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M) tentang Hifdu an-Nafsi, memiliki kesesuaian dengan gejala kekerasan seksual di Bangkalan, yaitu pentingnya menjaga diri sebagaian dari pada kewajiban. Kemudia teori tersebut dikembangkan oleh Jasser Auda (Cairo, November 1966) dengan konsep yang ditwarkan yaitu pendekatan protektif dan produktif.

Protektif artinya berusaha menghindari dari berbagai macam aspek yang menjerumuskan terhadap pelecehan seksual, kekerasan terhadap perempuan dan upaya kebijakan mebuat sistem dan aturan. Produktif artinya, berusaha memperbaiki cara berfikir, melakukan sosialisasi dan pentingnya menjalin kerjasama; -meminjam teori Abdul Faqih- “Kesalingan (Mubadalah)” antara laki-laki dan perempuan, dan menjaga lingkungan keluarga atau anak dari pergaulan bebas.

Prof. Dr. Abdul Mustaqim (Guru Besar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Jogja) dalam hal kaitannya dengankesejahteraan perempuan tadi juga mengomentari melakukan perluasan wawawsan. Hifdu an-Nafsi tidak boleh selesai pada ranah hukum dan ranah pribadi saja, pentingnya memhamkan menjaga diri ini juga pada orang lain dan lingkungan sekitar, akhirnya memahami HAM, undang-undang tentang perlindungan anak dan perempuan, mengetahui peran dan fungsi, batasan dan pencegahan antara laki-laki dan perempuan juga termasuk bagian dari Hifdu an-Nafs juga.

Sebagai pengantar terakhir, kiranya dua aspek struktural dan kultural tersebut dapat dipahami. Untuk mencegah maraknya kasus pelecehan seksual, intimidasi terhadap kaum perempuan, dan menghentikan budaya patriarki harus melakukan elaborasi sedini mungkin, yaitu mulai dari cara berfikir, baru kemudian beraksi dengan sistem dan pendekatan strukur dan kultur yang berlaku.


*Notulen diskusi: Misbahul Wani (Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN SUNAN Kalijaga Yogyakarta, Public Relation Forum Komuikasi Mahasiswa Kajjan (FMK), Dan Kapten Narasi Toleransi 2019).

0 Komentar