Nasab dan Mitosnya
Umumnya, paradigma
masyarakat Bangkalan adalah kulo (hamba) terhadap guru ataupun kiai (Gabreal
A. Almond, 1950). Apapun yang difatwakan seorang guru akan diikuti oleh
masyarakatnya dengan dalih takdziman, ikraman atau tha’atan. Hal
ini ternyata tidak berlaku di dalam bidang ilmu agama saja, tetapi juga di
dalam realitas sehari-hari. Contoh, bila seorang kiai mengadakan selametan
dengan keyakinan tase’ dejeh (laut utara) dan tase’ lao’ (laut
selatan) akan bersalaman (bertemu), maka ritual tersebut akan diikuti oleh
masyarakat dengan keyakinan supaya terhindar dari malapetaka. Bukan hanya itu, di
awal munculnya virus Corona di Indonesia setahun lalu, beredar berita di tengah
masyarakat bahwa air rebusan daun kelor dapat menangkal Covid-19 juga menjadi
isu (hoax) hangat yang diikuti sebagai dawuh oleh masyarakat meskipun secara
medis tidak terbukti.
Paradigma ini
juga berlaku dalam pandangan berpolitik masyarakat. Lihat saja, saat menjelang
perhelatan pesta demokrasi di tingkat daerah dan juga pedesaan, siapapun calonnya
asalkan dari keturunan ini dan nasab itu, terlebih diperkuat dengan dawuh kiai,
maka masyarakat akan memilih tanpa mensyaratkan si calon layak dipilih menjadi
pemimpin serta mampu mengemban amanah rakyat. Apabila tidak patuh, awas,
“kualat, kamu bukan santri saya lagi”.
Intimidasi kualat
lantaran cangkolang (melangkahi) dan tidak akan mendapatkan keberkahan
memang benar adanya menurut agama, akan tetapi bila berlebihan itu adalah
sebuah keteledoran, bahkan dapat menjadi mitos yang merugikan. Kenapa
merugikan? Ya, permasalahan Bangkalan sudah jelas di depan mata, lah, kok,
lebih memilih percaya pada mitos ”kualat” daripada realitas yang nyata atau
memilih takut kepada yang
sifatnya abstrak dan berlebihan daridapa melihat permasalahan konkrit yang
harus segera di atasi (Kuntowijo, 2002: 97).
Potensi Generasi
Muda yang Juga dimitoskan
Tidak dapat
dipungkiri, mitos-mitos di atas sangat merugikan terhadap kemajuan Bangkalan.
Karena di samping garis keturunan yang dikultuskan oleh masyarakat secara turun
temurun, tentu banyak generasi yang berpotensi untuk memimpin Bangkalan menjadi
lebih baik.
Generasi Bangkalan
saat ini sudah melek pendidikan, bahkan banyak yang migrasi ke luar daerah
menempuh pendidikan sebegai usaha untuk keluar dari jerat penindasan
intelektual selama ini. Di antara generasi tersebut, mustahil bila tidak ada
satupun genarasi yang ideal untuk menjadi pemimpin Bangkalan yang mampu
merubahnya ke arah yang lebih baik. Namun, lagi-lagi kualitas pemuda yang
potensial tersebut tidak dianggap dan dikalahkan oleh fanatisme terhadap suatu keturunan
yang begitu kental, bahkan terkadang masyarakat mencibir, “ah, jek la na’kanak,
tak kerah, selain ketoronan riah jekik pele”.
Akhirnya,
mungkin tidak berlebihan bila penulis menutup kicauan ini dengan, “lā
thā'ata limaẖlukin fī ma'shiyatil ẖolik”, bahwa tidak ada ketaatan
terhadap sesama makhluk di dalam bermasksiat kepada Tuhan. Kata-kata di atas
mengajak kita sebagai masyarakat awam untuk melihat realitas secara obyektif. Meskipun
didawuh untuk memilih A dan B dengan alasan nasab atau guru, tetapi di sisi
lain si-A dan B tersebut tidak kualifive sebagai wakil rakyat dan
berpotensi menyia-nyiakan hak rakyat, maka itu adalah kemaksiatan yang patut
ditinggalkan. Begitu.
Oleh. Tuan Shabir (Kader Biasa KMBY)
0 Komentar