Demitologi Bangkalan, Resolusi Kemajuan Tanpa Mitos

 



Membincang Bangkalan pada kondisi saat ini baiknya harus mempunyai kemampuan mengatur pernafasan yang baik. Ya, akhir-akhir ini Bangkalan sering ditimpa musibah kasus-kasus pelik yang tiada habisnya, hal ini seakan menjadi suatu paradoksal bagi kebupaten yang memiliki julukan kota dzikir dan sholawat tersebut, mulai dari korupsi di tingkat kabupaten hingga pedesaan, begal, narkoba, pemerkosaan, Pungli, pelecehan seksual dan pembunuhan.

Keadaan di atas sebenarnya bukan wacana baru saat ini saja, tetapi sudah sejak lama terjadi bak sebuah siklus yang selalu berulang, tidak kunjung berubah dan ajeg, meskipun dari periode ke periode pemimpinnya berganti. Apa yang terjadi sebenarnya?, sudahkah Bangkalan mempunyai pemimpin yang mempu untuk merubah kondisi tersebut, atau masyarakat sendiri yang terjebak di dalam mitos-mitos sehingga menyebabkan Bangkalan selalu jalan di tempat tanpa kemajuan yang signifikan?

 Nasab dan Mitosnya


Umumnya, paradigma masyarakat Bangkalan adalah kulo (hamba) terhadap guru ataupun kiai (Gabreal A. Almond, 1950). Apapun yang difatwakan seorang guru akan diikuti oleh masyarakatnya dengan dalih takdziman, ikraman atau tha’atan. Hal ini ternyata tidak berlaku di dalam bidang ilmu agama saja, tetapi juga di dalam realitas sehari-hari. Contoh, bila seorang kiai mengadakan selametan dengan keyakinan tase’ dejeh (laut utara) dan tase’ lao’ (laut selatan) akan bersalaman (bertemu), maka ritual tersebut akan diikuti oleh masyarakat dengan keyakinan supaya terhindar dari malapetaka. Bukan hanya itu, di awal munculnya virus Corona di Indonesia setahun lalu, beredar berita di tengah masyarakat bahwa air rebusan daun kelor dapat menangkal Covid-19 juga menjadi isu (hoax) hangat yang diikuti sebagai dawuh oleh masyarakat meskipun secara medis tidak terbukti.


Paradigma ini juga berlaku dalam pandangan berpolitik masyarakat. Lihat saja, saat menjelang perhelatan pesta demokrasi di tingkat daerah dan juga pedesaan, siapapun calonnya asalkan dari keturunan ini dan nasab itu, terlebih diperkuat dengan dawuh kiai, maka masyarakat akan memilih tanpa mensyaratkan si calon layak dipilih menjadi pemimpin serta mampu mengemban amanah rakyat. Apabila tidak patuh, awas, “kualat, kamu bukan santri saya lagi”.


Intimidasi kualat lantaran cangkolang (melangkahi) dan tidak akan mendapatkan keberkahan memang benar adanya menurut agama, akan tetapi bila berlebihan itu adalah sebuah keteledoran, bahkan dapat menjadi mitos yang merugikan. Kenapa merugikan? Ya, permasalahan Bangkalan sudah jelas di depan mata, lah, kok, lebih memilih percaya pada mitos ”kualat” daripada realitas yang nyata atau memilih takut kepada  yang sifatnya abstrak dan berlebihan daridapa melihat permasalahan konkrit yang harus segera di atasi (Kuntowijo, 2002: 97).


Potensi Generasi Muda yang Juga dimitoskan


Tidak dapat dipungkiri, mitos-mitos di atas sangat merugikan terhadap kemajuan Bangkalan. Karena di samping garis keturunan yang dikultuskan oleh masyarakat secara turun temurun, tentu banyak generasi yang berpotensi untuk memimpin Bangkalan menjadi lebih baik.


Generasi Bangkalan saat ini sudah melek pendidikan, bahkan banyak yang migrasi ke luar daerah menempuh pendidikan sebegai usaha untuk keluar dari jerat penindasan intelektual selama ini. Di antara generasi tersebut, mustahil bila tidak ada satupun genarasi yang ideal untuk menjadi pemimpin Bangkalan yang mampu merubahnya ke arah yang lebih baik. Namun, lagi-lagi kualitas pemuda yang potensial tersebut tidak dianggap dan dikalahkan oleh fanatisme terhadap suatu keturunan yang begitu kental, bahkan terkadang masyarakat mencibir, “ah, jek la na’kanak, tak kerah, selain ketoronan riah jekik pele”.


Akhirnya, mungkin tidak berlebihan bila penulis menutup kicauan ini dengan, “lā thā'ata limaẖlukin fī ma'shiyatil ẖolik”, bahwa tidak ada ketaatan terhadap sesama makhluk di dalam bermasksiat kepada Tuhan. Kata-kata di atas mengajak kita sebagai masyarakat awam untuk melihat realitas secara obyektif. Meskipun didawuh untuk memilih A dan B dengan alasan nasab atau guru, tetapi di sisi lain si-A dan B tersebut tidak kualifive sebagai wakil rakyat dan berpotensi menyia-nyiakan hak rakyat, maka itu adalah kemaksiatan yang patut ditinggalkan. Begitu.



Oleh. Tuan Shabir (Kader Biasa KMBY)

0 Komentar