Kenapa Harus Jogja?

Hanif Muslim

Oleh: Hanif Muslim, Kader baru KMBY 2021

Kota kenangan itu bernama Yogyakarta. Bersama dengan senja ditelan gulita, dengan kuasa Allah malam ini untuk pertama kalinya saya akan menginjakkan kaki di tempat kelahiran Kiyai Ahmad Dahlan merasakan hal yang sama seperti tahun-tahun yang lalu tepatnya ketika saya dilahirkan dan dibentuk oleh lokalitas dan semangat religius pulau Madura. Malam ini saya kembali merasakan suasana yang sama seperti tahun-tahun silam. Bagi saya Yogyakarta adalah rahim kedua yang akan melahirkan sekaligus yang akan membentuk karakter dan pribadi saya selama empat tahun ke depan.

Barangkali sudah lima tahun saya bermimpi dan menahan keinginan untuk kuliah di Jogja dengan segenap peluh, keringat, bahkan air liur yang sembarang keluar saat mendengar cerita tentang Jogja. Sejak duduk di bangku Aliyah. Jogja adalah satu-satunya kota yang sangat melekat di benak. Meski sebenarnya saya belum pernah menginjakkan kaki di Jogja. Tapi entah kenapa seakan saya sudah lama di Jogja. Itu mungkin hanya perasaan saya saja. tapi pada dasarnya Jogja itu memang sangat istimewa, tidak hanya sebagai kota gudeg, Jogja juga  disebut-sebut sebagai kota pendidikan. Dimana para pemikir banyak dilahirkan di sini. Sebut saja presiden Jokowi, Mahfud MD, Busro, Zainal Arifin Mochtar, Eka Kurniawan dst. 

Menurut para senior yang pernah berdiskusi, di kota Jogja ini tahun 2005 ke bawah memang hidup suasana diskusi di kalangan mahasiswa dan para akademisi. Sekalipun diskusi hanya di warung-warung kopi. Ada tradisi membaca yang kuat di antara mereka. Konon ceritanya dalam seminggu, mereka menuntaskan lima buku bacaan untuk kemudian didiskusikan, sehingga saat diskusi ada pertanggung jawaban secara refrensi. Sekalipun kebenaran tak mesti datang dari banyaknya refrensi. Sebagaimana Newton hanya karena kejatuhan apel dapat menemukan kebenaran gaya grativitasi. Tetapi refrensi membantu untuk tidak ngawur dalam berdiskusi. 

Tapi sayangnya ketika saya nyantri ada banyak sekali buku-buku dari Jogja yang tidak diperbolehkan masuk dan menjadi  koleksi perpustakaan apalagi dikonsumsi oleh santri sebab dianggap menyimpang dan dicap buku liberal bahkan seorang teman berpesan kepada saya sebelum berangkat ke  jogja "awas di jogja jangan sampai jadi liberal kamu" katanya sambil tertawa, saya pun ikut tertawa mendengarnya. 

Namun sepertinya pasca 2005 hingga saat ini ada penilaian bahwa telah terjadi pegeseran tradisi di kalangan akademisi dan aktivis di jogja. Dimana tradisi membaca dan berdiskusi semakin tak terlihat, menurun intensitasnya. saat mereka ngopi lebih banyak sebatas ngobrol atau main kartu, catur dst. 

Tapi, sekalipun demikian Jogja terlalu banyak keistimewaannya dua di antaranya adalah: 

Pertama, Jogja intim dengan buku-buku. Bagi pembelajar, salah satu keistimewaan atau lebih sederhananya kelebihan Jogja adalah melimpahnya buku-buku. Luasnya akses pada buku merupakan makanan paling bergizi bagi mereka yang bergulat di lapangan keilmuan. Sebab itu, kota yang lebih akrab disapa Jogja ini, masih menjadi alternatif belajar yang cukup diminati di kalangan pemburu pengetahuan. Meski banyak yang bilang ada penurunan tempo, tetapi rasanya tidak kalah dengan kota-kota lain yang suasana keilmuannya cukup “hangat” macam Jakarta, Surabaya, Malang, Bandung, atau malah masih lebih favorit dari mereka. 

Salah satu ketersediaan buku di Jogja ditopang oleh banyaknya penerbit yang beroperasi, meskipun belum ada pendataan berapa jumlah pastinya. Saat berkunjung ke perpustakaan dan membuka beberapa buku di bagian Katalog Dalam Terbitan cukup banyak penerbitan yang beralamat di Jogja. Beberapa di antaranya yang terbilang mentereng: Pustaka Pelajar, Diva Press, LKiS, Kanisius, dll. 

Kondisi ini, membuat para pembelajar di Jogja seperti disuapi akan pengetahuan lewat berbagai jenis buku yang dicetak, dan yang spesial penulisnya berasal dari berbagai penjuru nusantara. Gagasan-gagasan baru yang tertuang sebelum beredar secara nasional terlebih dahulu dibaca di Jogja. Penikmat buku di DIY, tentu saja, selalu berhasil “menggagahi” terlebih dahulu buku-buku “perawan” yang baru saja naik cetak mengingat dekatnya dengan penerbit. 

Yang kedua, yang saya tau Jogja itu unik dan berani. Tak seperti masjid-masjid pada umumnya, yang mengadakan pengajian umum dan kajian keislaman lainnya. Masjid Jenderal Sudirman (MJS) justru sebaliknya  menjadikan filsafat sebagai kajian rutin dan perangkat membangun tradisi berpikir yang tidak mudah ditiru oleh lembaga dan  masjid manapun. Nyatanya di seantero Jogja hanya ada satu MJS saja yang melakukan demikian atau bahkan di masjid se-Nusantara tak ada yg demikian. Namun MJS konsisten dan tetap "berani" melakukannya. 

Tak peduli sudah berapa banyak komentar negatif bahkan umpatan terhadap filsafat mulai dari yang beraroma agama, kesempatan kerja hingga yang saintifisme. Dr. Fahruddin Faiz sebagai pengampu berhasil menjadikan filsafat yang ngejelimet dan dikutuk banyak orang sebagai hidangan yang ringan, renyah menyentuh dan menarik banyak orang dari berbagai level dan latar belakang yang beragam.  

Ala kulli hal, saya mesti berterima kasih untuk semua kesempatan ini, semoga kota  kenangan itu benar-benar seperti apa yang saya imajinasikan dan ada banyak kebaikan yang bisa dinikahi. 

0 Komentar