Carok Madura: Antara Berani, Jubun dan Tahawwur


Saya lahir di tanah Madura, tumbuh dan dibesarkan dengan lokalitas Madura. Sependek pengetahuan hamba, Orang Madura adalah orang-orang yang menjaga muruah, memelihara harga diri, baik di dalam sikap hormatnya kepada orang lain maupun di dalam kerendahan hati dan tawadhu'. Ia bersedia memuliakan orang lain, tetapi ia jangan dihinakan, ia mau memikul yang berat, tetapi jangan dianggap rendah. Ia bersedia menjadi kuli bangunan, menyabit rumput dan menjadi tukang bersih kandang, tapi jangan sekali-kali harga dirinya diinjak-injak. 


Tidak ada yang lebih berharga dari dirinya selain sebagai Manusia, ia hanya menjaga nilai dan martabat kemanusiaannya itu saja. Oleh karena itu sejatinya ketika suku Madura menyisipkan celurit di pinggangnya bukan berarti ia akan membacok atau menikam orang lain. Ia hanya sedang menjaga harga diri dan kehormatannya. Apabila rasa malu dan harga dirinya diganggu oleh orang lain, maka pantang mengambil celurit kalau tidak untuk ditikamkan.


Di Madura, apabila seorang pemuda harus dipenjara atau dibuang karena membunuh untuk menebus kehormatannya, atau membela saudara perempuannya yang dipermalukan. Kalaupun akan dijatuhkan hukuman 15 tahun ia tidak akan menyesal sedikitpun. Karena baginya hukuman 15 tahun untuk mempertahankan kehormatan keluarga bukanlah sebuah kehinaan. Justru sebaliknya, jika saudara perempuanya diganggu lalu didiamkan saja olehnya, itulah kehinaan sejati. "Setiap yang berkutang adalah ibumu, Jagalah dia". Begitulah kurang banyak nasehatnya. 


Kalaupun ia hidup 15 tahun setelah itu tidak akan ada harganya, sekalipun ia hidup bebas dalam Masyarakat selama 15 tahun tidaklah ada artinya,  sama saja menjadi orang buangan, malah lebih hina dari itu. Dari hukuman 15 tahun yang dijalani itulah orang Madura merasa dirinya berharga. Setelah keluar dari penjara ia akan dibelikan pakaian baru oleh keluarganya dan merasa bangga karena ia telah menyelesaikan tugasnya dalam membela kehormatan diri dan keluarganya. 


Inilah yang disebut sebagai malu, kadang ia juga disebut sebagai harga diri, atau bisa juga siri. Dan semua bangsa Indonesia mewarisi rasa malu ini mulai dari suku bangsa Bugis, makassar, Mandar, Toraja dan seterusnya. Bukan hanya suku Madura, sama sekali tidak. Siri adalah satu kepribadian yang asli dalam suku-suku bangsa Indonesia umumnya. Boleh berbeda namanya tetapi hakikatnya hanya satu. 


Dalam pepatah melayu misalnya, "Arang tercoreng di kening, malu tergores di muka". Dalam pepatah melayu juga, "Daripada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah." Di dalam pepatah minang, "Musuh jangan dicari-cari bertemu pantang dielakkan." Selain itu ada juga, "Esa hilang, dua terbilang." Sementara, di Madura ada pepatah "Ango'an pote tolang, atembeng pote matah".


Abdul Wahid yang diberi gelar Kari Mudo, pernah memberikan nasehat begini, "Jangan mengangkat kaki di muka orang Aceh, jangan menyentak badik di muka orang Bugis, jangan dipegang kepala orang Minang dengan tangan kiri." Orang Makasar menamai ini dengan "siri", orang Minang menamai "pantang" atau pantang-pantang pejatian sedangkan orang Madura menyebutnya dengan "katodusen".


Jadi, saya katakan semua suka bangsa memiliki siri atau katodusen, tabiat-tabiat seperti di atas bukanlah semata milik Madura. Tetapi ia milik seluruh Indonesia, bahkan Bangsa Belanda pun juga demikian. Mereka menyebutnya "Beledeging"  atau penghinaan, merusak nama baik. Zaman dulu seseorang dapat mengajak duel siapapun yang merusak namanya, dengan senjata pistol atau pun pedang. Dan ia rela mati atau kalah dari masuhnya dalam duel, karena dengan seperti itu ia telah membela harga dirinya. 


Dalam hemat saya, Setiap suku bangsa tak terkecuali memang harus memiliki siri kalaupun ujungnya bermuara pada "Carok" Hanya saja ia harus dibarengi dengan pendidikan dan pemeliharaan yang baik. 


Carok memiliki sejarah yang panjang, ia juga memiliki pengertian yang kompleks, bukan sekadar berkelahi memenuhi hasrat kejantanannya. Belakangan ini tampaknya carok semakin bergeser dari makna dan sejarah awalnya hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan penyebabnya tidak lain adalah karena tidak ada pendidikan dan pemeliharaan yang baik. 


Menurut, Imamuna Abu Hamid Al Ghazali Siri yang baik adalah Siri yang menengah (al auzath) Siri ini mengandung peragai syaja'ah yang artinya berani karena yakin berada di jalan yang benar, tanpa koar-koar teriak benar, atau tanpa mengangkat celurit, atau mengancam orang dengan celurit untuk mempertahankan kebenaran. Dengan kata lain biarpun ia mati yang mati hanyalah dirinya, sementara kebenarannya akan tetap hidup. 


Syaja'ah ini adalah peragai pertengah antara Jubun (pengecut) dan Tahawwur (berani babi). Jubun, penjelasannya adalah ia sudah yakin berada di posisi yang benar tetapi tidak sedikit pun berani menyatakan kebenaran. Sedangkan Berani babi adalah sebaliknya, ia sudah yakin berada di posisi salah tetapi tetap ngotot dan merasa yang paling benar dan tidak mau mendengar pertimbangan orang lain. 


Jadi, boleh saja anda melihat carok sebagai hal yang negatif tercela, tetapi tidak semua hal yg tercela adalah carok, sebab dalam etika (ahlak) menjaga harga diri adalah kewajiban moral paling tinggi. Ada pepatah Arab begini "annaar lal aar" (Biar bertikam, daripada memikul malu).  Meskipun, saya pribadi merasa miris dan ngilu ketika setiap tindakan pembunuhan dan perkelahian yang terjadi di Madura digeneralisasi sebagai "Carok" Atau melakukan tindakan keji dengan dalih Carok. 


Kesatria Madura "Pak Sakera" tidak begitu Bung, saya kira beliau akan malu melihat generasi yang semakin memperburuk sejarah kelam "Carok" yang tidak cukup secara akal dan nurani.


Hanif Muslim, Pemuda biasa, yang lahir dan tumbuh di Bangkalan 

0 Komentar