Debat Capres: Mengukur kekuatan Argumentasi Anies Baswedan


Debat ketiga capres-cawapres pada senin malam lalu nampaknya lebih hangat tensinya dari debat-debat sebelumnya. Pasalnya, karena sejak awal penyampaian visi-misi diduga sudah ada yang memasang kompor gas di kepala Prabowo. 


Penikmat kopi di pojok warung malam itu tak sekadar menyeruput kopi seperti biasa. Melainkan mendapat bonus santapan perdebatan panas (untuk tidak menyebutnya sebagai pembantaian) yang terlalu sayang untuk tidak diwarta-tuliskan. 


Barangkali perdebatan yang berlangsung di Istora Senayan telah usai. Namun, api perdeban, tukar komentar hingga tukar tengkar akan senantiasa menghiasi dinding beranda media sosial kita. Perdebatan ini sungguh telah membuat kita habis-habisan menguras tenaga untuk mengumbar kebencian. 


Jagad maya seperti sedang kebakaran oleh api amarah, sumpah serapah, dan sederet caki maki lainnya, yang asapnya mengepul seperti pabrikan menutupi sikap toleransi kita. Laksana gelombang, kita seakan tak pernah kehabisan alasan untuk menyusun setumpuk makian dan kata-kata jorok lainnya untuk merendahkan orang lain yang tak sepaham, bahkan tak sepilihan.


Aforismenya jadi begini: tak ada kebaikan yang tak bisa dicari keburukannya. Tindakan baik selalu menyisakan sudut pandang buruk yang bisa dieksploitasi seradikal mungkin, atau malah sengaja dicari sudut kejelekannya. Sehingga dapat membalik kebaikan itu bercitra buruk. Itulah sebabnya, tak pernah ada persepsi kebaikan yang diterima oleh semuanya. 


Meski begitu tulisan ini tidak bermaksud mengumbar sebuah sikap psimisme, sama sekali tidak. Tulisan ini hanyalah sebentuk keyakinan, bahwa setia pada pengetahuan, rasionalitas dan merawat akal sehat di tengah gegap-gempita dan godaan janji-janji manis para capres-cawapres, adalah sikap yang paling tepat untuk senantiasa berada dalam kewarasan dan menjaga jarak dari kesadaran-kesadaran palsu atau dalam bahasa Paulo Freire disebut kesadaran naif. 


Sebagai dasar atau meta narrative dalam tulisan ini saya akan mencoba melihat proposisi dan argumentasi Anies Baswedan berdasarkan kaidah dan rambu-rambu ilmu logika, salah satu disiplin ilmu yang dianggap sebagai timbangan atau neraca bagi pengetahuan (mi'yar al ilmi). Dalam sistem pendidikan tradisional logika juga menjadi salah satu instrumen kunci dari trivium (gramatika, retorika dan logika). 


Dan dipilihnya logika sebagai pisau analisa dalam tulisan sederhana ini tidak lantas dipahami bahwa logika merupakan “neraca” tertinggi bagi kebenaran, namun sebaliknya, untuk memberi motivasi lebih, dalam mempelajari jenis kebenaran yang lain. 


Dalam ilmu logika sekurang-sekurangnya  terdapat lima taksonomi argumentasi (al aqsam al hujjah) yang meliputi: Argumentasi sofistik (hujjah syafsatoiyyah), argumentasi puitik (hujjah syi'riyyah, argumentasi retoris (hujjah khithabiyyah), Argumentasi dialektis (hujjah jadaliyyah) dan argumentasi demonstratif (hujjah Burhaniyyah). 


Dari semua model argumentasi ini Anies seringkali menggunakan argumentasi dialektis dan demonstratif. Sementara pengertian dari argumentasi dialektis atau Hujjah jadaliyyah ini, secara bahasa berarti pertentangan, perkelahian atau bisa juga dimaknai sebagai perlawanan. 


Dalam ilmu logika jadaliyyah adalah  argumentasi yang menggunakan proposisi mushallamat dan masyhurat. Perhatikan proposisi berikut “Jika salah satu dari dua hal yang berlawanan dapat diterapkan pada suatu objek, maka lawannya akan bisa diterapkan pada objek lawannya”. Dari proposisi ini maka proposisi masyhur yang akan dihasilkan ialah seperti dibawah ini: 


“Jika berbuat baik kepada teman adalah kebaikan maka, berbuat buruk kepada musuh juga kebaikan”. “Jika duduk dengan orang bodoh adalah hal yang tidak baik, maka meninggalkan duduk dengan para cendekiawan juga tidak baik”. 


Dalam kasus Anies kita bisa melihat proposisi yang dijadikan umpan pada Prabowo kurang banyak seperti ini bunyinya: "Jika menempatkan etika pada standar yang tinggi adalah baik, maka berkompromi dengan standar etika adalah sesuatu yang buruk. Redaksi di atas bukanlah kalimat langsung, tapi kalimat tidak langsung yang subtansinya masih sama. Alasan disajikan dalam bentuk proposisi kondisional yang terdiri dari anteseden dan konsekuen tujuannya tidak lain agar memudahkan dalam menemukan kalimat masyhurnya. 


Contoh yang lain misalnya ketika Anies bilang "Bila ada di antara kami yang faktanya keliru bapak tunjukkan, tetapi kalau bapak tidak tunjukkan berarti memang faktanya benar" 


Semua contoh argumen ini diperoduksi untuk mendebat, menggugat dan menolak pandangan sosok lawan bicaranya dan memperkuat argumen yang dimiliki. Karena itu ketelitian, sistematika bahasa dan logika berpikir seseorang sangat menentukan untuk bisa mendebat dan menenangkan sebuah pertentangan argumentasi.


Selanjutnya, Model argumentasi kedua yang sering dipakai dalam debat oleh Anies adalah demonstrasi. Hujjah Burhaniyyah (Argumentasi demonstratif), di antara semua bentuk argumentasi, yang memiliki validitas paling tinggi adalah demonstratif, sebab ia dibentuk dari proposisi yaqiniyat dan meniscayakan konklusi yang benar selain dari materi maddah yang benar hujjah burhaniyyah juga harus memiliki formula dan formulasi (surah) yang tepat dan benar sebagaimana penjelasan sebelumnya mengenai formulasi dalam silogisme. Manfaat dari argumentasi demonstratif (hujjah burhaniyyah)  memberikan keyakinan, agar tidak selalu terjebak pada berbagai tanya tanpa kejelasan tentang jawabannya. 


Pada bagian awal ketika Anies menyampaikan visi-misi Anies terlihat banyak mendaftar kasus-kasus papartikular contoh Anies mengungkapkan "Lebih dari seratus enam puluh ribu orang meninggal karena serangan viru, hp dan komputer diserang oleh cyber attack, lebih dari tiga ribu orang menjadi korban perdagangan manusia, dan perdangan anak, pencurian ikan, pencurian pasir" Lalu dari kasus-partikur ini kemudian Anies mengekstraknya menjadi proposisi universal menjadi "kita kebobolan".


Penalaran semacam ini adalah model penalaran induktif, jadi kumpulan kasus yang didaftar oleh Anies adalah untuk menguatkan dan menunjukkan bahwa "pertahanan Indonesia kebobolan".


Sementara, kekuatan dari konklusi penalaran model ini sangat ditententukan oleh kuantitas dan kualitas data yang dijadikan sebagai presmis. Dan kabar baiknya Anies cukup hebat dalam mengumpulkan data-data sehingga argumentasinya sangat menyulitkan lawan apalagi menghadirkan argumentasi tandingannya. 


Dan semua model argumentasi yang disebutkan di awal dapat dipastikan ia disusun dari salah satu instrumen berikut: Yaqiniyat, Madzunat, Maqbulat, masyhurat, wahmiyyat, musyabbihat, musallamat dan mukhayyalat. 


Adapun, penjelasan dari tiap-tiap instrumen di atas cukup panjang dan akan memakan banyak halaman dan waktu santai anda tentunya, untuk memudahkan dan menyederhanakan cara menilai tiap-tiap argumentasi kita sederhanakan menjadi tiga kategori saja, yang pertama, Pasti benar (yaqiniyyat). Kedua, mungkin benar (Madzunat, maqbulat, masyhurat, wahmiyyat, musyabbhat) dan pasti salah (mukhayyalat dan musyabbihat).


Dengan begitu bisa kita katakan demonstratif sebagai argumentasi yang pasti benar. Dan Dialektis sebagai argumentasi yang mungkin (saja) benar. (*) 


Hanif Muslim, Mahasiswa Studi Islam Interdisipliner UNU Jogja, Tukang kebun di KMBY. 






0 Komentar