Madura dan Markantilisme Pendidikan



Saya yakin orang-orang Madura yang hidup dan berjumpalitan dalam dunia pendidikan. Sedikit banyak mereka pasti merasakan beberapa ketakutan-ketakutan yang membayangi dan memayungi mereka selama belajar atau menempuh pendidikan. "Untuk apa sekolah, mending kerja saja biar dapat uang?" Kalimat-kalimat seperti ini sangat akrab di telinga pelajar-pelajar Madura. 


Tidak jarang ketika pulang dalam rangka liburan untuk sekadar mengobati kerinduan kepada keluarga. Mereka cenderung menyodorkan bahwa si A yang tidak sekolah sudah mengeluarkan mobil pajero, dan si B yang hanya jualan pentol sudah meng-umrahkan ibu dan bapaknya. "Masak yang sekolah, kalah sama penjual pentol dan nggak sekolah". Tentu kalimat di atas bukanlah kalimat yang ramah dan enak untuk didengar. 


Kalimat-kalimat di atas tak ubahnya menabur garam di atas luka, "perih" ditambah dengan kenyataan hidup yang sebenarnya tidak kalah melaratnya, bagaimana sulit dan peliknya perjuangan pelajar Madura harus bekerja untuk memenuhi tagihan SPP kuliah. Ditambah harapan orang tua dan keluarga yang terasa begitu berat di pundak. 


Kita harus jujur, kontruksi atau wacana dominan di Madura memang lebih banyak yang realis ketimbang idealis. Konstruks sosial semacam ini telah menentukan logika berpikir dan bertindak orang Madura. Tidak sedikit orang-orang Madura beranggapan bahwa tolak ukur keberhasilan sebuah pelajar atau institusi pendidikan adalah memiliki uang dan kehidupan yang layak.


Sialnya pendidikan hari ini tidak jauh berbeda alias sama saja dengan kontruksi berpikir ala orang Madura. Inilah yang disebut sebagai Markantilisme pendidikan. Dalam beberapa kesempatan saya juga pernah mengkritik merkantilisme pendidikan tinggi. Sialnya, banyak yang menafsirkan bahwa saya menginginkan agar semua orang jadi saintis atau filsuf, dan juga tak jarang ditafsirkan berpandangan tidak realistis karena "anti-materi". 


Well, itu aneh, karena saya pribadi meyakini bahwa setiap manusia itu punya misi hidup yang unik satu sama lain, sehingga secara lahiriah kemampuannya pun berbeda satu sama lain. Bagaimana bisa saya menginginkan semua orang menjadi saintis atau filsuf? Selain itu juga, saya sendiri bertahun-tahun hidup sebagai “kuli” di bidang tulis menulis. 


Mungkin saya agak berbeda karena mengecam Kemenristekdikti dengan visi hilirisasinya yang mengarahkan kalian semua ke satu arah saja, yaitu menjalani hidup untuk menjadi ‘kuli berdasi’... Hanya itu pilihan yang disodorkannya untuk kalian. Dan saya menolak itu.


Oke, sekarang mari kita bicara yang agak konkret ihwal materi atau harta kekayaan dalam kaitannya dengan pendidikan. Mohon maaf kalau pembicaraan ini terasa begitu duniawi dan matre, tapi ini hanya sekadar upaya menggambarkan bahwa seharusnya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, tidak lagi memperpanjang orientasi “menempa mentalitas kuli” yang sudah diterapkan sejak Belanda “berniat baik” memberikan pendidikan bagi bumiputera.


Markantilisme pendidikan adalah ketika institusi-institusi pendidikan berkecenderungan kuat sekadar menjadi lembaga ekonomi yang menjual pengetahuan sebagai komoditas, atau mereduksi diri dengan menjadi semacam balai latihan “pertukangan” belaka, yang memang melahirkan tukang yang ahli, namun tanpa visi; terampil, namun tanpa ruh dan isi. 


Bagaimana pun juga hidup dan kemanusiaan adalah poros utama dan dasar terdalam segala kiprah pendidikan. Maka agar pendidikan dapat bergerak ke depan secara tepat-sasaran dibutuhkanlah kajian ke belakang kembali tentang bagaimana manusia dipahami selama ini. Semacam back to the future, begitulah.


Sokrates (juga Platon) yang mendeskripsikan tentang keyakinannya bahwa setiap manusia itu mempunyai semacam cetak biru yang mereka istilahkan sebagai “arete”. Bahkan secara eksplisit Sokrates menyebut metode pendidikannya sebagai “maitike” (arti harfiahnya adalah metode bidan) atau semacam “bidan pengetahuan” yang membantu kelahiran pengetahuan dari para muridnya—bukan mencekoki atau menulisi kertas kosong seperti keyakinan tabularasa dari John Locke. (Bukan kebetulan bahwa ibunya Sokrates pun adalah seorang bidan.


Tulisan ini hanyalah pengantar, sebagai bahan oret-oretan untuk diskusi malam Jumat di KMBY. Dalam kesempatan itu, tulisan di atas ini akan saya lengkapi dengan pemikiran Paulo Freire (Pendidikan kaum tertindas), Horkheimer dan Adorno, bagaimana fase-fase Markantilism of Knowledge itu berkembang dan melihat wajah pendidikan Indonesia secara umum. Non multa sed Multum.


Hanif Muslim, Tukang kebun Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta

0 Komentar