Relasi kemiskinan dalam kontestasi kekuasaan di Bangkalan


Pemilihan masih lumayan lama. Namun, tensi bursa calon bupati dan wakil bupati nampaknya mulai menghangat. Nama-nama yang digadang-gadang maju sebagai Bangkalan 1 atau Bangkalan 2 sudah bermunculan ke permukaan. 


Namun penting hamba utarakan sebelum dikeselatankan, tulisan ini sama sekali tidak berniat untuk meng-unboxing para calon Bupati atau wakil bupati Bangkalan. Tulisan ini hanya memuat apa saja yang terlintas dan ber-sliweran di kepala, barangkali demikian. Soal pemimpin mungkin itu barang lain. Yang jelas sependek pengamatan hamba saat ini basis pemilih di Madura khususnya di Kota sholawat masih menginginkan figur yang berlatarbelakang pesantren. Di Bangkalan background agama masih sangat dominan, kalau ada calon di luar background agama itu tanpa diimbangi kemampuan dan pengalaman birokrasi, besar kemungkinan posisinya akan lemah.


Peralihan atau kontestasi kekuasaan tidak akan terlalu jauh dari bagaimana pola pemerintahan dan kebijakan Bangkalan yang telah berjalan selama ini. Mari kita flasback jauh ke belakang. Sejak disahkannya jembatan Suramadu pada tahun 2008 lalu, harapan terbesar masyarakat Madura, termasuk masyarakat Bangkalan adalah perbaikan kesejahteraan. Mereka meyakini jembatan terpanjang se-Asia tenggara ini akan menjadi jawaban terhadap kemiskinan menaun di pulau garam itu. Mereka yakin infrastruktur yang baik akan menjadi pemantik bagi kebangkitan ekonomi masyarakat. Tetapi nyatanya, tiga periode pergantian pemerintahan harapan kesejahteraan itu hanya menjadi impian yang tak kunjung terealisasi. 


Pola kekuasaan para bupati Madura yang cenderung mempertahankan patriarki kekiyaian membuat kesejahteraan tidak merata. Para pemodal kaya yang siap membayar lebih pada penguasa memperoleh kesempatan lebih besar untuk mengakses ekonomi di Madura. Sementara mereka yang miskin tetap saja pada nasibnya yang kekurangan, lebih-lebih masyarakat  yang hidup di pedalaman. Sebagai orang yang lahir dan hidup di Bangkalan sedikit banyak telah maklum dengan kondisi hidup masyarakatnya. Yang sebagian besar bertumpu pada sebagai penggarap pertanian yang tak menguntungkan karena tak punya tanah. 


Menu makan berupa nasi dan kepala ikan kering (gherreng), atau nasi dan bujhe saja adalah menu keseharian mereka. Mereka hidup di rumah berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu di makan rayap pula. Lembaga-lembaga sekolah pedalaman seadanya, dalam artian tak memiliki fasilitas dan guru juga seadanya. 


Kabar buruknya, pada tahun 2023, saya masih menyaksikan tektur dan kultur kehidupan masyarakat Madura yang tak jauh berbeda atau malah tak ada bedanya dengan tahun-tahun yang lalu. Artinya janji kesejahteraan lewat Suramadu dan lainnya tak memberikan efek apapun bagi perbaikan ekonomi mereka. Salah satu sebabnya, menurut hamba, para penguasa di Madura masih belum siap memikirkan rakyatnya. 


Dalam situasi dan kondisi kemiskinan seperti inilah, masyarakat Madura mudah sekali digerakkan untuk kepentingan tertentu asal di bayar uang. Termasuk aksi dukung-mendukung  yang jelas-jelas secara kapabilitas dan integritas jauh dari kata ideal. 


Sementara, dari sekian pola pemerintahan di Bangkalan, ada dua pola kekuasaan yang selalu eksis dan mengakar. Kalau menggunakan analisi Louis Althusser, para penguasa menggunakan dua apparatus secara sempurna: Represive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA). 


Di wilayah RSA, dia menggunakan jasa preman atau para bajing (tokang tatta’) untuk menghantui, menakut-nakuti dan merepresi para aktivis yang mencoba kritis. Menurut Mathur Khusairi, koordinator Bangkalan Corruption Watch (BCW), semua tokang tatta’ di Bangkalan memiliki relasi timbal-balik dengan penguasa. Para bajing itu disubsidi hidupnya, hampir semua kebutuhan dipenuhinya, sehingga wajar jika para bajing ini gelap mata dalam mendukung penguasa atau pemimpin yang berkuasa. Karena hal ini menyangkut urusan perut, lauk-pauk dan kelangsungan hidup para bajing itu.


Sedangkan di ISA, penguasa memaksimalkan kultur Madura yang tunduk pada orang yang dianggap kiyai atau keturunan kiyai (lora). Dari fakta ini, orang Madura secara klenik (mengabaikan rasio) fanatik dan termasuk tawadu’ pada keturunannya. 


Berangkat dari kenyataan ini, peralihan kekuasaan selalu diwarnai dengan memainkan kondisi kemiskinan, memainkan relasi bajing, trah dan harapan-harapan pendek Masyarakat Bangkalan. Masyarakat Bangkalan mudah saja digerakkan. Selama para bajing dipelihara dengan baik. Semangat relijius yang menjadi identitas orang Madura bisa saja pupus oleh segepuk uang. Semua itu terjadi kuat dugaan karena mereka tak pernah merasakan kesejahteraan dan kronisnya kepercayaan terhadap pemimpin.  


Ibrahim, adalah tukang kebun di Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta. 

0 Komentar