Pemimpin Parasit yang miskin Integritas

 


TULISAN kecil ini ditujukan kepada bakal calon bupati dan wakil bupati Banglalan, dan semua yang ingin memimpin dan menjadi wakil rakyat kabupaten Bangkalan melalui Pemilu mendatang (2024). Karena penentuan siapa yang memenangi mandat juga berasal dari pemilih, tulisan ini juga ditujukan kepada 814.366 pemilih terdaftar. Pemilu memang bukan keseluruhan demokrasi, melainkan pemilu adalah metode kunci bagi demokrasi.


Maksudnya, demokrasi akan mulai terhubung dengan pemberantasan korupsi, pengurangan kemiskinan, perbaikan lingkungan, atau perbaikan hak asasi jika, dan hanya jika, pemilih sanggup memilih para calon bupati dan wakil bupati yang punya rekam jejak dan berdarah daging memberantas korupsi, dihantui oleh luasnya kemiskinan, marah pada penghancuran lingkungan, dan terbukti sebagai pejuang hak asasi. Istilah “jika, dan hanya jika” di atas begitu sentral. Sinisme terhadap demokrasi akan terbukti mengada-ada jika, dan hanya jika, pemilih sanggup memilih sosok-sosok seperti itu.


Urusan tata cara memilih sudah sering dibedah dan kriteria pemimpin yang baik juga telah banyak diurai. Tulisan kecil dan sederhana ini hanya akan membuat lugas apa yang sudah terang benderang dalam bingkai yang sedikit lebih besar. Jika tujuan bernegara-berbangsa adalah ‘kebaikan bersama’ (the common good), dan demokrasi adalah metodenya, maka pemilu sebagai metode kunci demokrasi perlu menghasilkan para legislator-eksekutor yang siang-malam melibati teknologi mencapai kebaikan bersama. Teknologi itu disebut ‘pembangunan’ (development).


Jadi, teruntuk  814.366 pemilih Jangan mau masa depan Bangkalan ditukar-takarkan dengan sesuatu yang sifatnya transaksional demi membeli kepentingan pragmatis-individualis. Jangan mau dibodohi dengan calon pemimpin yang kerjaannya hanya sibuk kesana-kemari menjual poster dan citra diri. Sebagai rakyat tidak lelahkah jika setiap perhelatan pemilu hanya dijadikan sebagai kuda tunggangan oleh para calon pemimpin untuk tujuan nafsu kemaruk individualistiknya, dan bagi para calon pemimpin sebegitu miskin integritaskah kalian sehingga selalu terjebak pada satu pola yang sama (Menjadi sapi perahan rakyat) . 


Hingga hari ini di Bangkalan nampaknya terlalu omong kosong untuk sekadar berbicara soal prestasi dan rekam jejak kepemimpinanan secara objektif dan adil (tanpa embel-embel dia anu dan anu). Penulis sangat menyayangkan jika persoalan Pemimpin Bangkalan selalu direduksi terus-terusan pada dua golongan Blater dan Kyai. 


Di sini seyogyanya, penulis bukan tidak percaya pada kualitas dari dua entitas di atas, jika dilihat dari historisnya. Kedua elit lokal ini juga memiliki peran dan fungsi yang dominan dalam mengatur dan menjaga keseimbangan. Blater mampu meredam banyak konflik dengan kekuatan, pertimbangan dan sangat disegani. Meskipun dalam perkembangan, beda blater sekarang dan dahulu, hari ini Blater semakin bergeser dari nilai-nilai esensialnya pada hal-hal yang sifatnya aksiden semata seperti sok angkuh, kopyah hitam yang tinggi seperti tiang listrik. 


Sementara, Kyai dulunya dikenal sebagai sosok yang cerdas dan kapasitas keilmuannya itu dipercayai oleh publik, Kyai adalah pemegang otoritas tertinggi dalam persoalan keagaman. beda dengan sekarang, seperti yang disampaikan oleh KH. Sahal Mahfud, "al an laisa Kyai. Hari ini tidak ada Kyai, asumsi ini diperkuat dengan Kyai yang sudah banyak masuk politik praktis. Sehingga masyarakat lebih mengenal kyai itu sebagai politisi yang menggeluti politik di pemerintahan. 


Di sini, penulis sekali lagi bukan bermaksud meragukan kualitas kedua golongan di atas. Yang penulis persoalkan adalah kedua golongan ini seringkali berpolitik dengan memanfaatkan peran  dan fungsi keduanya pada selangkangan politiknya demi meraup kemenangan. Dalam artian nilai, kekuatan dan fungsi Kyai maupun blater bukan dipakai sebagaimana mestinya malah diproduksi untuk kepentingan politiknya. 


Jadi, lihatlah secara objektif tokoh seperti Hasani, Imam Bukhori, Imron Amin, Hasbullah, Nasih, Syafi’udin Asmuro, Mahfud, Fauzan, Jayus, Moh Aziz, dan Matur Khuseiri, apakah mereka semua sudah memenuhi kriteria pemimpin ideal untuk carut-marut dan masalah akut yang ada di Bangkalan. Bahkan kalau dilihat rekam jejaknya, di antara mereka ini dulu ada mantan blater yang kemudian muncul masuk birokrasi karena kekuatan hartanya (bukan kapasitas), kalau memakai bahasanya orang awam "Ken menang dunnyah” mereka menang menjadi dewan karena hasil permainan money politik yang tak sewajarnya. 


Contoh seperti ketua DPC PKB sekarang, ia menjadi pejabat bukan karena prestasinya tapi karena ketenaran dan keberaniannya. Dan mereka yang dari golongan Kyai juga demikian, karena kekuatan nasab dan memainkan peran kekyaiannya. Lebih tepatnya keberhasilannya diraih dari jual citra dan kharisma kakek moyangnya contoh seperti dewan yang dari golongan Bani Cholil. 


Mereka semua ini yang mempertontonkan kebodohan kepada publik karena masyarakat awam sebagai pemilih tidak menggunakan hak suaranya dengan cita-cita pemilu yang sesungguhnya, mereka yang memilih tokoh dari kalangan blater karena uangnya, mereka memilih yang dari golongan kiyai karena takut kena bala’ atau karena gurunya, jadi sudah bukan lagi karena kapasitas keilmuannya lagi. 


Sebenarnya, secara tidak langsung femonena semacam ini menunjukkan bahwa pada dasarnya para bakal calon pemimpin Bangkalan hanyalah parasit yang miskin integritas dan kualitas. Kalau mereka punya kualitas dan integritas. Mereka tidak akan memakai kharisma dan citra kakek moyangnya dan image blaternya (Uang dan represi) untuk meraup kemenangan. 


Bagi penulis ini semua adalah angin yang kurang segar untuk demokrasi Bangkalan. Seperti Anda, penulis juga tidak yakin agregasi pilihan kita dalam Pemilu 2024 sanggup membasmi para penjarah pembangunan. Namun, kita tidak mungkin mencabut diri dari sejarah. Kita hanya bisa menunggang keterbatasan sejarah itu dan mengoreksinya dengan memilih sosok-sosok yang cacatnya lebih dapat kita tanggung daripada para pemburu rente, penjarah pembangunan yang kemaruk, dan benalu Bangakalan. 



Rahman Mubarok, Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Kader KMBY



0 Komentar