Baliho Lora: Antara Drama dan Manipulasi Politik

Dokumen: kmby.or.id


"Selain menghasilkan para pemenang, dunia melahirkan para pecundang. Setiap orang bertanggung jawab atas nasib masing-masing".


Pemilihan kepala daerah di Bangkalan, yang lebih akrab disebut pemilihan bupati, kini kembali memasuki suasana tenang—bisa dibilang, mulai adem ayem. Keadaan ini disebabkan oleh gugurnya salah satu bakacalon bupati yang sebelumnya sempat meramaikan panggung politik kota dzikir dan sholawat ini. Bakacalon tersebut, yang begitu hits hingga menjadi bahan perbincangan di setiap warung kopi, baik di kota maupun desa, tampaknya harus menelan pil pahit. Calon yang dianggap memiliki kekuatan dan potensi besar untuk terpilih ini, meski berbekal pengalaman politik yang mengesankan, harus merelakan impiannya untuk duduk di kursi empuk bupati.


Memang, dengan dorongan dari masyarakat desa dan pengalaman politiknya yang sudah menjelajah dari pelosok ke pusat, calon ini tampaknya sudah siap menyambut karpet merah menuju kursi kekuasaan. Namun, sepertinya Tuhan belum mengizinkan dia untuk menjalankan misinya di kursi putih yang diidam-idamkan. Dalam politik, memang kadang nasib tak bisa diatur oleh seberapa besar dorongan masyarakat atau seberapa banyak pengalaman, melainkan oleh takdir yang tak terduga.


Gugurnya bakacalon tersebut tentunya memengaruhi dinamika elit politik di Bangkalan. Sebelumnya, banyak instansi dan organisasi kepemudaan yang mulai menyemut mengklaim dukungan untuk bakacalon ini, menjadikannya bintang yang bersinar di panggung politik. Sayang sekali, meski kekuatan politiknya sudah mengakar kuat, Tuhan tampaknya belum menulis skenario lain untuknya.


Seandainya bakacalon dari PDI-P ini tetap maju, jelas akan menambah seru arena pemilihan bupati di Bangkalan. Dengan latar belakang dari desa dan pengalaman berkuasa baik di kota maupun di tingkat Jawa Timur, ia membawa nuansa politik yang menarik. Mengacu pada istilah yang dipopulerkan politisi PDI-P, Bambang Pacul, bakacalon ini bisa dibilang memiliki "jiwa-jiwa Korea"—yaitu, seorang politisi yang telah melalui berbagai rintangan dan kaderisasi yang solid, bukan hanya sekadar bergantung pada garis keturunan atau warisan leluhurnya. Pola politiknya, yang penuh perjuangan dan pengalaman, tentunya membawa warna berbeda dibandingkan politisi yang mengandalkan nama besar keluarga semata.


Beberapa minggu belakangan, baliho seorang lora menghiasi pinggir jalan dengan klaim muluk-muluk mewakili kepentingan masyarakat Bangkalan. Entah apakah ini benar-benar hasil aspirasi masyarakat atau sekadar strategi lora, kami masih dalam proses penyelidikan. Dari wawancara dengan tokoh besar di salah satu kecamatan, terungkap bahwa lora ini dikenal gemar memanipulasi pemilihan kepala desa dan sering memanfaatkan isu-isu sensitivitas keyakinan untuk kepentingan pribadi.


Kemunculan baliho ini tampaknya bukanlah spontanitas masyarakat umum, melainkan hasil dari instruksi langsung lora. Tidak mungkin orang desa berani mencetak dan memasang baliho besar di setiap sudut jalan tanpa izin dari pihak yang bersangkutan. Budaya menjaga tata krama dan etika di bumi dzikir dan sholawat sangat dijunjung tinggi. Status lora di Bangkalan memiliki kekuatan instruksi yang sering kali melampaui perintah presiden; mengabaikan etika terhadap lora dalam keyakinan Masyarakat Bangkalan bisa berakibat kualat dan kehilangan barokah.


Jadi, dalam hemat penulis sangat jelas bahwa baliho ini bukanlah hasil dari dorongan hati nurani masyarakat Bangkalan, melainkan sebuah manuver politik yang dirancang dan diatur oleh lora itu sendiri. Masyarakat mungkin hanya menjadi korban dari permainan politik yang lebih besar, di mana intrik dan kekuasaan berperan lebih besar daripada aspirasi sejati masyarakat.


Di sisi lain, meskipun baliho ini jelas merupakan instruksi dari lora yang tampil di gambar, masyarakat desa harus bersikap visioner dan jeli. Memilih seorang pemimpin bukanlah soal status sosial, melainkan proses kaderisasi dalam partai atau pengalaman politik yang dimiliki. Masyarakat perlu menyadari bahwa pemilihan bupati bukanlah sama dengan memilih ketua ta’mir masjid; tanggung jawabnya jauh lebih besar.


Menjadi bupati bukan hanya tentang memiliki keahlian politik, tetapi juga tentang jiwa kenegarawanan dan pemahaman mendalam mengenai dinamika dan sistem pemerintahan. Bangkalan membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cakap dalam politik, tetapi juga mampu meningkatkan integritas pemerintahan dan kualitas pendidikan, sehingga tidak lagi menjadi buah bibir dan bahan cemoohan luar daerah.


Ini adalah kesempatan emas bagi masyarakat Bangkalan untuk memilih pemimpin yang benar-benar layak, dengan melihat rekam jejak dan prestasi, bukan hanya berdasarkan status sosial atau kedekatan pribadi, seperti status guru atau lora. Dalam konteks politik, harus ada pemisahan yang jelas antara rasa hormat dan kepatuhan terhadap guru atau lora dengan keputusan politik. Prinsip agama Islam pun menegaskan bahwa “La Ta’ata Li makhlukin Fi Maksiati al Khaliq,” yaitu tidak ada ketaatan kepada makhluk jika bertentangan dengan perintah Tuhan.


Secara sederhana, hadits tersebut menegaskan bahwa seseorang tidak boleh tunduk sepenuhnya kepada sesama manusia jika ketaatan tersebut mengarah pada kemaksiatan terhadap Tuhan. Prinsip ini sangat relevan dalam konteks ketaatan terhadap lora, karena ada batas-batas tertentu dalam ketaatan kepada seorang guru, selama tidak melibatkan kemaksiatan atau kedzaliman. 


Penting untuk diingat bahwa memberikan kekuasaan atau kepercayaan kepada seseorang yang tidak kompeten dapat menimbulkan kerusakan dan kedzaliman, yang pada gilirannya bisa mengarah pada kehancuran. Dalam ranah kekuasaan, hal ini sering kali berujung pada pemimpin yang tidak adil, praktek nepotisme, dan korupsi. Oleh karena itu, dalam memilih pemimpin, masyarakat Bangkalan harus berfokus pada kompetensi dan pengalaman, bukan sekadar status sosial atau kedekatan pribadi, agar tidak terjebak dalam praktik kekuasaan yang merugikan.


Narasi ini mengingatkan penulis pada kisah perjalanan intelektual Imam Syafi'i, yang pada masa pencarian ilmunya, pernah belajar dari seorang guru yang dikenal sebagai seorang ahli tasawuf. Guru tersebut menghindari kemewahan, berpendapat bahwa kekayaan dapat mengalihkan perhatian dari Tuhan dan membahayakan jiwa. Setelah periode ini, Imam Syafi'i beralih berguru kepada Imam Malik, seorang ulama yang terkenal dengan kekayaan dan kemurahan hati. Ketika Imam Syafi'i menyaksikan Imam Malik membagikan hartanya kepada kaum fakir, ia merasa perlu menegur tindakan tersebut. 


Imam Syafi'i mempertanyakan, "Mengapa Anda membagikan harta dengan begitu melimpah? Bukankah seharusnya harta itu bisa menjauhkan kita dari Tuhan?" Imam Malik menjawab, "Apakah Anda merasa tidak nyaman belajar dari orang yang memiliki kekayaan? Apakah Anda berpikir bahwa kekayaan itu menjauhkan kita dari Tuhan?" Imam Syafi'i mengakui bahwa kehadiran kekayaan dalam diri seseorang dapat menimbulkan bahaya, namun Imam Malik membalas dengan pertanyaan retoris, "Kalau begitu, bagaimana jika harta ini saya bagikan kepada orang-orang yang hidup dalam kemaksiatan, seperti pemabuk dan pelaku dosa?"


Keterkejutan Imam Syafi'i memunculkan pencerahan bahwa harta tidaklah intrinsik buruk atau baik, tetapi tergantung pada penguasanya. Dengan demikian, harta dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, asalkan dikelola oleh seseorang yang memahami dan menggunakan kekayaan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip keagamaan dan kemanusiaan yang benar. 


Jadi, Memberikan kepercayaan kepada seseorang yang tidak memahami fungsi pemerintahan dan kepemimpinan setara dengan memberikan tiket VIP menuju jurang bencana. Jika masyarakat desa menghormati dan mencintai gurunya, janganlah terjebak dalam ilusi memilih pemimpin yang hanya memiliki kapasitas memelihara koleksi foto keluarga di dinding, tetapi tidak mengerti seluk-beluk politik pemerintahan. Seperti kata mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, "Power is sexy and it will seduce," kekuasaan bukan hanya magnet, tetapi juga penggoda ulung. Mengacu pada teori Lord Acton, yang mengamati bahwa kekuasaan cenderung merusak, kita mesti sadar bahwa untuk memitigasi kecenderungan tersebut, kekuasaan harus dikelola oleh perangkat aturan yang jelas dan ketat, agar tidak terjebak dalam pergeseran etika dan penyalahgunaan yang menjijikkan.


Sebelum tulisan ini diakhiri, penting untuk diutarakan (sebelum dikeselatan) bahwa penulis di sini bukan anti-lora, sama sekali tidak. Sebaliknya, kita mendukung pendelegasian kekuasaan kepada lora yang memang memiliki kapasitas dan otoritas dalam bidang politik dan pemerintahan—seperti contoh Lora Imam, Lora Hasani, dan seterusnya. Setidaknya mereka adalah figur yang tidak hanya mengerti tata kelola, tetapi juga telah membuktikan kapabilitas mereka dalam praktik pemerintahan.*() 



Rahman MubarokMagister Hukum Universitas Islam Indonesia, Kader KMBY

4 Komentar

  1. Kenapa harus panik hanya karena baliho. Siapa pun yang maju dalam kontestasi politik itu sudah pasti mempersiapkan diri jauh sebelum kontestasi dimulai. Pada akhirnya siapapun yang maju, biarlah rakyat yang memilih.
    Kontestasi yang sehat, maju tanpa menjatuhkan, naik tanpa mengerdilkan.

    BalasHapus
  2. Semasih ingen punc niat baik buat bangkalan lebih baik lagi knp tdk, maju trus lora bangkalan

    BalasHapus
  3. Narasi tersebut terlalu menyederhanakan kompleksitas dinamika politik di Bangkalan. Memang, ada beberapa kasus di mana pengaruh lora dalam politik cukup besar, namun tidak semua kasus demikian.

    Generalisasi yang dilakukan terhadap lora dan masyarakat Bangkalan tidak adil. Selain itu, klaim bahwa baliho tersebut merupakan hasil instruksi langsung dari lora perlu didukung dengan bukti yang lebih kuat.
    Sementara narasi tersebut dengan tegas mengaitkan kemunculan baliho dengan instruksi langsung dari lora, tanpa adanya bukti yang kuat.

    Kemunculan baliho bisa saja disebabkan oleh inisiatif kelompok pendukung calon tersebut, tanpa adanya campur tangan langsung dari lora. Selain itu, faktor lain seperti persaingan politik dan dinamika masyarakat juga dapat mempengaruhi munculnya baliho.

    Pernyataan tokoh yang dijadikan dasar oleh penulis tersebut perlu diverifikasi kebenarannya. Tanpa adanya identitas yang jelas, sulit untuk menilai objektivitas dan netralitas pernyataan tersebut.

    Pemilihan pemimpin adalah proses yang kompleks dan melibatkan berbagai faktor, tidak hanya pengaruh dari satu kelompok tertentu.

    BalasHapus
  4. Kenapa tidak anda saja yang jadi bupati ? Kan kamu pintar

    BalasHapus