Egoisme Kekuasaan

Dok: Media kmby.org


Pesta demokrasi Pilbub Bangkalan 2024 tinggal menghitung Bulan. Pesta ini mestinya disambut gembira, semangat, antusias dan suka cita karena merupakan ungkapan sejati kuasa rakyat. 


Rakyat Bangkalan tengah menunggu pemilu berkualitas, yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Tentu tak ada yang menghendaki pemilu ugal-ugalan tak berkualitas, irasional, tak bertanggung jawab, malapraktik kekuasaan, kecurangan, keculasan, dan penuh kelicikan. 


Namun, pemilu ugal-ugalan itu tampak semakin ketara di depan mata ditandai dengan pembusukan demokrasi yakni melalui dominasi kekuatan oligarki, persekongkolan munafik, mafia dan kartel politik, politik transaksional dan Klintelisme (Aspinall dan Berenschot, 2019) rencana busuk ini dirancang oleh segelintir elit politik. Tujuan mereka tak lain adalah untuk menggerogoti esensi demokrasi. Ide mengusung calon tunggal ini sangat berbahaya bagi kesehatan demokrasi. 


Kita semua tahu bawah demokrasi seharusnya hadir sebagai wujud pemerintahan di mana setiap warga negara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah nasib mereka. Demokrasi adalah bentuk penghargaan tertinggi terhadap harkat dan martabat manusia, bukan sekadar permainan kotor bagi segelintir orang yang haus kekuasaan.


Namun, rupanya para elit partai beramai-ramai berencana mengajukan satu calon yang nantinya akan melawan kotak kosong. Kemungkinan ini bukanlah hal yang mustahil terjadi, karena di banyak daerah (luar Madura) pemilu sudah sering dilakukan dengan cara tersebut. 


Sementara, Membaca wajah buruk rupa demokrasi dan ninamika politik di Bangkalan akan semakin glowing dan jelas jika dibaca dengan paradigma elitisme yang dikemukakan oleh C. Wright Mills dalam bukunya "The Power Elite". 


Menurut Mills, elit politik sering kali mendominasi proses pengambilan keputusan penting dalam masyarakat, mengorbankan demokrasi dan kepentingan umum demi nafsu kemaruk pribadi dan kelompok mereka. Dalam kasus Pilkada Bangkalan, elit politik menggunakan kekuatan ekonomi dan pengaruh mereka untuk mengamankan dukungan dari semua partai politik, mengunci peluang bagi calon-calon alternatif untuk bersaing secara adil.


Mills juga menekankan bahwa elit politik sering kali bekerja untuk melindungi kepentingan mereka. Di Bangkalan, koalisi gemuk yang dibentuk oleh berbagai partai politik untuk mendukung satu calon adalah bukti nyata dari kolusi ini. Alih-alih bersaing untuk menawarkan pilihan yang lebih baik bagi rakyat, partai-partai ini lebih memilih untuk bersatu (cari aman) demi keuntungan (pragmatis) bersama, mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan kepentingan publik.


Munculnya calon tunggal akan mencederai hak rakyat dan menyebabkan kemunduran demokrasi daerah. Rakyat akan dihadapkan pada pilihan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, karena melawan kotak kosong berarti "Memilih atau tidak", pemenangnya adalah calon tunggal. Meski nantinya kotak kosong yang mendapatkan suara terbanyak, pemilu di daerah kebanyakan perangkat kepanitiaannya sudah diamankan oleh tokoh partai dan tokoh desa yang punya kepentingan, sehingga lebih mudah merencanakan kemenangan.


Robert A. Dahl, salah satu teoritisi dalam teori pluralisme politik, menyebutkan bahwa demokrasi yang sehat harus mencerminkan berbagai kepentingan masyarakat melalui partisipasi aktif dari berbagai kelompok dan individu. Bagaimanapun juga satu calon tak akan mampu dan cukup menjadi representasi bagi kompleksitas kriteria warga Bangkalan. Dalam kasus Pilkada Bangkalan, keberadaan calon tunggal mengancam prinsip pluralisme dengan mengurangi pilihan dan suara yang beragam dari masyarakat. 


Hal lain yang patut disayangkan adalah partai politik yang seharusnya berfungsi sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah, menyediakan platform bagi berbagai kepentingan untuk bersaing secara adil. Namun, dalam kasus Bangkalan, partai politik tampaknya lebih fokus pada keuntungan bersama daripada representasi yang adil bagi rakyat. Koalisi gemuk yang dibentuk untuk mendukung calon tunggal mencerminkan kegagalan partai politik dalam menjalankan peran mereka sebagai perwakilan rakyat yang sejati.


Secara yuridis, sah-sah saja jika suatu daerah berkontestasi dalam Pilkada dengan satu calon, karena hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam Pasal 54D diatur bahwa pemenang Pilkada dengan calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah. Jika suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50%, pasangan calon yang kalah dapat mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya. 


Sementara itu, dalam Pasal 25 ayat 1 PKPU Nomor 13 Tahun 2018 disebutkan bahwa jika kolom kosong memperoleh suara lebih banyak dari pasangan tunggal, KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada Pilkada periode berikutnya. Ayat (2) menyebutkan, "Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."


Lantas, siapa yang memimpin pemerintahan dalam masa kekosongan tersebut jika pemilihan umum daerah gagal memilih pemimpin baru? Dalam UU Pilkada disebutkan bahwa "Jika belum ada pasangan yang terpilih, maka pemerintah menugaskan penjabat untuk menjalankan pemerintahan." Artinya, Kementerian Dalam Negeri akan menunjuk seorang Penjabat (PJ) yang bertugas hingga perhelatan Pilkada Serentak selesai.


Dinamika ini sebenarnya membuka mata seluruh masyarakat Bangkalan untuk memahami bahwa sejatinya pemilihan umum kepala daerah harus memunculkan tokoh pilihan rakyat yang bersih, berintegritas, dan memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, bukan hanya sekadar pilihan partai politik. Namun, yang terjadi di Bangkalan adalah tokoh yang ditampilkan lebih mengedepankan ketokohan daripada kapasitas ideal untuk memimpin. 


Partai politik harus lebih selektif dalam memilih kadernya. Jika suatu partai tidak memiliki kader yang bagus, itu adalah kesalahan partai karena tidak menyiapkan kader terbaik melalui proses pengkaderan yang baik.


Penulis mengamati bahwa para elit partai Politik di Bangkalan masih memiliki cara pandang egoistis tentang kekuasaan, di mana partai merasa memiliki hak prioritas penuh dalam pemilu. Akibatnya, mereka cenderung menyukai koalisi gemuk. Para elit partai politik harus berbenah diri dan melakukan evaluasi besar-besaran, karena tindakan mereka sering kali tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Partai politik seharusnya menjadi kendaraan politik rakyat untuk mengisi kekosongan jabatan. Dalam arti, partai harus menunjuk orang dengan kapasitas yang bagus atau mendukung kader yang ingin mencalonkan diri, baik dari dalam maupun luar partai. 


Namun, yang lebih penting adalah bahwa kader yang dipilih harus memiliki rekam jejak yang baik, agar demokrasi kita hidup dan bermakna. Bukan sekadar menunggu kesepakatan politik untuk kepentingan partai. Prinsip seperti ini biasanya muncul di tubuh partai yang memiliki banyak kursi, sehingga tidak mengherankan jika kebanyakan orang lebih memilih partai besar daripada yang kecil. 


Orientasi politik partai sering kali bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan pribadi dan birokrat. Jika partai tidak dapat menjadi kendaraan politik yang efektif, maka ada yang salah dengan partai itu sendiri.


Informasi tentang adanya calon tunggal di Pemilukada Bangkalan ini sebenarnya disebabkan oleh satu calon yang berhasil memborong dukungan semua partai politik, sehingga mengecilkan peluang bagi putra daerah lain untuk maju sebagai calon wali kota. Dengan modal kapital yang besar tersebut calon kepala daerah akan dengan mudah mengunci kesempatan bagi calon lain untuk mendapatkan dukungan. Alasan yang diberikan adalah "Bersatu demi kepentingan bersama untuk memajukan Bangkalan". Demikian menurut penuturan salah seorang aktivis Bangkalan yang sekaligus menjadi salah satu sumber informasi tulisan ini. 


Alibi lainnya, adalah untuk meminimalisir anggaran pemilu. Namun, menurut penulis, alasan ini tidak sepenuhnya valid karena setiap perangkat kepanitian Pilkada tetap harus digaji, kecuali jika mereka mau dibohongi.


Ide kontestasi dengan calon tunggal ini sebenarnya tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena sejatinya Pilkada adalah pertaruhan untuk dapat menang dan menduduki kekuasaan. Namun, yang salah dan perlu kita pertanyakan adalah ketidakberanian untuk berkompetisi dalam pertarungan yang sebenarnya. 


Lawan dikalahkan sebelum maju dalam pertempuran. Kondisi ini mencerminkan egoisme kekuasaan yang dalam bahasa Madura disebut "angkar ka jabatan" atau "gerumuan." Pertarungan yang sejati adalah ketika ada lawan yang dihadapi, sehingga kemenangan atau kekalahan yang didapat adalah wujud dari ketangguhan dan keberanian yang sebenarnya. (*) 



Rahman MubarokMagister Hukum Universitas Islam Indonesia, Kader KMBY




0 Komentar