Dari Malin Kundang Hingga Kotak Kosong: Demokrasi Bangkalan Dari Rakyat untuk Elite oleh Elite dan Demi Elite


Bagaimana mengintegrasikan kelompok-kelompok masyarakat ke dalam sistem besar yang disebut negara-bangsa seperti Indonesia? Bagaimana keinginan masyarakat dikomunikasikan kepada elite pemerintah dan sebaliknya kebijakan dari pemerintah disampaikan kepada masyarakat dalam negara yang kompleks pada zaman modern ini? Jawabannya Partai politik, walaupun bukan satu-satunya. 


Selain berfungsi mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam politik nasional, partai politik juga berfungsi mengintegrasikan kelompok masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Dengan kata lain, partai politik, dalam studi Bill Liddle tahun 1960-an, punya fungsi untuk integrasi nasional. Individu-individu, kelompok suku, agama, kelas sosial, dan sentimen kedaerahan yang begitu besar di negeri kita, dimediasi dan dipertemukan dalam unit-unit lebih besar dalam partai politik. Partai politik juga mendekatkan jarak politik dari pusat kekuasaan kepada rakyat.


Tapi lihatlah sekarang yang terjadi di kota yang menamakan dirinya sebagai kota dzikir dan Sholawat (Bangkalan). Demokrasi berjalan dengan meninggalkan sang ”demos” (rakyat jelata), seperti Malin Kundang yang melupakan ibunya sendiri. Teruntuk elite partai (yang tidak kami hormati lagi) khususnya di Bangkalan, rakyat memang tak memiliki uang dan janji-janji kemaruk-tamak seperti yang mereka janjikan. untuk membayar kalian. Tapi rakyat tetaplah rakyat ia adalah ibu kandung yang menjadi alasan kenapa partai mesti ada. 


Fungsi integratif dan artikulatif untuk inilah sejatinya partai politik ada yakni untuk memperantarai rakyat dengan elite pemerintahan, BUKAN ELITE dengan ELITE penulis ulangi lagi khawatir kalian tuli "bukan jadi karpet merah untuk elite". Sialnya kedua hal ini yang diabaikan dan semakin dipertontonkan jelang Pendaftaran Pilkada di Bangkalan. 


Sifat dasar partai adalah refleksi dari pembelahan sosiologis masyarakat—apakah itu karena perbedaan ideologis, kelas sosial, ataupun perbedaan primordial (agama, suku, atau kedaerahan). Semuanya dipangkas menjadi satu warna merah bergambar Soekarno dan Moh. Hatta (ironis). Demokrasi yang seharusnya  menjadi nafas terwujudnya pemilu yang sehat, meminjam bahasa adnan buyung pemilu itu adalah ruang bersama bagi warga untuk menentukan calon pemimpin yang akan menjalankan pemerintahan, dan dijaga oleh partai sebagai perantara elite dan rakyat. Namun, yang terjadi sebaliknya justru penulis lihat mereka hanya sibuk saling mencium ketek dan pantat sesama elite. 


Membuat koalisi gemuk mematikan demokrasi, dan membenturkan keinginan dan mimpi Masa depan masyarakat pada kotak kosong dan calon pemimpin kepala kosong. Perangkat keras demokrasi di Bangkalan memang berhasil dipoles, tetapi perangkat lunaknya masih berjiwa kapitalis (uang-uangan) esensi telah dirampok dan digadaikan "Namanya juga malin Kundang".


Penulis mengamati dalam tubuh tokoh elite partai terdapat dorongan kebinatangan yang kuat yang membuatnya memaksakan diri sehingga menghancurkan demokrasi dan menghambat keinginan masyarakat demi kepentingan sendiri. sulit memang menyadarkan binatang buas dari pada hewan peliharaan. karena yang selalu ada dalam fikirannya adalah kenyamanan pribadi dan golongan.


Jadi embrio munculnya koalisi gemuk ini karena sifat kebinatangan yang rakus dalam hati para elit politik partai, kurang lebih analogi yang paling sopan untuk mereka adalah Kera atau monyet yang sedang makan, makanan dalam mulutnya belum habis tapi mereka sudah repot tangan dan kakinya merebut makanan lagi. Etika politik seperti ini yang nantinya akan menyebabkan rusaknya birokrasi dan matinya demokrasi lalu kemudian muncullah kekuasaan oligarki, sehingga kepentingan rakyat semakin jauh dari pemerintahan. 


Terakhir, Dengan alasan apapun penulis menentang jalan kotak kosong ia menyederhanakan pilihan rakyat, membunuh partisipasi rakyat. Dan untuk Lukman-Fauzan Kalian Pecundang. *() 



Rahman MubarokMagister Hukum Universitas Islam Indonesia, Kader KMBY


0 Komentar