Dari Virtue ke Vanity: Dinamika Pergantian Kandidat Bakal Calon Bupati Bangkalan

Gambar: Rahman Mubarak


Sadar atau tidak kosakata politik sudah lama kehilangan virtue, yaitu keutamaan atau kebajikan politik dengan keyakinan yang dipilih adalah benar dalam kacamata publik. Semangat itu justru muncul pada perjuangan prakemerdekaan sebelum Proklamasi 1945.


Penulis setuju dengan pernyataan Robertus Robet intelektual muda dan dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta. Menurutnya, hari ini ranah politik kehilangan kaum intelek. Mereka malah terjebak dalam arus kapitalisme dan industri yang mengomodifikasi gagasan-gagasan intelektual menjadi tontonan. Diskursus berubah menjadi celebrity chat show yang dangkal.


Baru-baru ini beredar Surat Keputusan Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa Nomor 33588/DPP/01/VII/2024 tentang penetapan pasangan Lukman Hakim, S.IP., dan Moch. Fauzan Jakfar, S.Ag., S.H., M.H. sebagai calon bupati dan wakil bupati Bangkalan 2024-2029 dari PKB, disertai dengan foto kedua kandidat yang tersenyum menawan dan berpakaian rapi, informasi ini berhasil membangunkan kembali kuriositas masyarakat bumi dzikir dan shalawat.


Barangkali masih banyak masyarakat Bangkalan yang belum mengenal atau mengetahui siapa sebenarnya sosok Lukman Hakim. Hal ini berbeda dengan Mahfud, yang memiliki akar pergerakan politik yang kuat dengan pengalamannya di DPRD Jatim dan sering muncul di Bangkalan dengan sayap gerakannya, K-Conk Mahfud Institute. Begitu juga Fauzan ia sudah cukup familiar bagi masyarakat Bangkalan karena sering memasang foto-foto atau baliho di pinggir jalan sejak menjabat sebagai ketua KONI dan mencalonkan diri di DPRD Jatim.


Sependek pengamatan penulis, Lukman Hakim adalah adik kandung Mahfud dan pernah menjabat sebagai kepala desa di Katol Barat. Kini, posisinya digantikan oleh kerabatnya sendiri, Ya’kub. Jadi, wajar jika masyarakat Bangkalan belum mengenal lebih jauh siapa Lukman, karena pengalamannya hanya di pemerintahan desa.


Dinamika dan akrobat politik pergantian dari Mahfud ke Lukman yang dilakukan beberapa partai politik seperti PDIP, PAN, Golkar, dan PKB  ini sangat penulis sesalkan karena sebab saudara tidak sinonim dengan kualitas cara ini penulis anggap kurang ideal dalam peran partai politik. 


Maurice Duverger dalam bukunya "Political Parties," partai politik semestinya berfungsi sebagai saluran aspirasi rakyat dan memfasilitasi partisipasi politik. Keputusan partai yang tidak mencerminkan kepentingan publik bisa dianggap sebagai penyimpangan dari fungsi dasar partai politik tersebut. Sebaliknya, keputusan peralihan calon yang dilakukan partai-partai ini sangat tidak mencerminkan prinsip demokrasi.


Pertanyaannya kenapa harus Lukman? bukanlah diluar itu Masih banyak kader partai yang lebih berpengalaman dan hampir setara dengan kualitas Mahfud dibandingkan Lukman, seperti Suyitno dan Fatkurrahman dari PDIP, Moh Aziz dari PAN, dan Hasani dari Demokrat. Apalagi PKB, yang dikenal sebagai gudang politisi. Maka, penulis dan publik bisa saja menyimpulkan bahwa pergantian ini ratio legisnya hanya bermuatan hasrat dan kepentingan politik elite tertentu yang bersekongkol dengan partai lain, bukan untuk kepentingan Masyarakat Bangkalan.


Penulis juga menilai pergeseran ini telah menjadi salah satu tanda hilangnya politik dengan ”p” besar, yaitu politik yang dilandasi perjuangan untuk kepentingan bersama. Yang sedang berlangsung sekarang adalah politik dengan ”p” kecil, yang rutin dan bergerak untuk kepentingan individu, kelompok, dan bisa dipertukarkan; tak lebih dari semacam transaksi, pasar. Memang cukup sulit berharap kepada kaum politisi yang sibuk berpolitik dengan ”p” kecil. Kita membutuhkan kerja para aktivis politik yang menghuni politik dengan ”p” besar untuk menjadi agen perubahan. 


Partai politik sekarang sudah menjadi semacam perusahaan keluarga. Kalau mau demokrasi lebih baik dan kehidupan ideal Bangkalan berkembang, parpol perlu dibenahi secara internal sekaligus dihadapkan pada kepentingan publik luas. Sudah terlalu lama partai-partai menjadi anak durhakanya Rakyat. 


Bagi masyarakat Bangkalan, jangan terlalu terkejut dengan kemunculan sosok Lukman ini. Sebelum Mahfud mengundurkan diri, penulis pernah berbincang dengan salah satu kerabat jauh Mahfud sebut saja ia S (Inisial) pada kesempatan itu S bercerita banyak hal termasuk jika Mahfud terpilih sebagai bupati, maka Lukman akan dijadikan penggantinya di DPRD Jatim. Banyak informasi yang penulis dapatkan, termasuk besarnya biaya politik yang telah dikeluarkan. Namun, seperti yang kita lihat hari ini nasib belum berpihak sehingga Lukman sebagai ban serap dicalonkan sebagai calon bupati. Pertanyaannya sekarang, apakah Lukman memiliki kualitas dan daya tarik yang kuat seperti Mahfud?


Diakui atau tidak, sebelum Mahfud mengundurkan diri, banyak orang dari berbagai kalangan, baik aktivis maupun masyarakat pedesaan, yang mendukungnya dan memprediksi bahwa Mahfud adalah calon yang berpeluang besar untuk terpilih. Kontribusi dan pengaruhnya memang sudah tidak diragukan lagi. Namun, saat ini, belum tentu kekuatan itu masih bertahan dan belum tentu Lukman mampu mengikuti jejak Mahfud dalam dunia politik daerah. Pergantian ini, menurut penulis, menjadi kelemahan bagi pasangan calon Lukman dan Fauzan, serta mencerminkan keputusan yang tidak ideal oleh partai-partai tersebut. *() 



Rahman MubarokMagister Hukum Universitas Islam Indonesia, Kader KMBY

0 Komentar