Nafsu Kemaruk Elit Politik Partai membunuh Esensi Demokrasi Bangkalan

Gambar: Rahman 

Di tengah perhelatan pilkada di Bangkalan, kita lagi-lagi disuguhi pemandangan yang memprihatinkan: pragmatisme dan politik transaksional semakin mengakar kuat dalam tubuh partai-partai politik. Para elit politik yang seharusnya menjadi penjaga nilai dan prinsip partai, kini justru mengkhianati esensi tersebut demi memuaskan nafsu kekuasaan. Mereka tanpa malu-malu menjadikan partai sebagai alat, mengorbankan visi, misi, dan idealisme yang seharusnya menjadi pedoman, hanya demi mengejar kemenangan sesaat.


Koalisi gemuk yang terbentuk antara Lukman Hakim dan Fauzan Jakfar, didukung oleh partai besar seperti PDI-P, PKB, PAN, Golkar, dan Demokrat, menjadi contoh nyata dari kebobrokan ini. Aliansi ini tak lagi didasari oleh kesamaan visi atau ideologi, melainkan sekadar akal-akalan untuk mengumpulkan suara sebanyak mungkin. Partai yang dulunya berdiri tegak di atas prinsip dan ideologi, kini rela menanggalkan semua itu demi kepentingan praktis jangka pendek.


Koalisi yang seharusnya menjadi wadah perjuangan idealisme partai, kini berubah menjadi kumpulan oportunis yang hanya peduli pada kemenangan pilkada, mengabaikan tujuan mulia yang pernah mereka deklarasikan. Ideologi, visi, dan misi partai terkikis habis, tenggelam dalam lumpur pragmatisme. Inilah wajah politik kita saat ini: transaksional, hampa nilai, dan penuh dengan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip yang seharusnya mereka junjung tinggi.


Mereka yang pernah berdiri gagah dengan janji-janji perjuangan, kini jatuh dalam kubangan kekuasaan yang tak bermoral. Rakyat dipaksa menyaksikan sandiwara murahan, di mana partai-partai yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, justru menjadi alat kekuasaan segelintir elit yang tak lagi peduli pada cita-cita luhur bangsa. Sudah saatnya kita sadar dan menuntut perubahan, agar politik kita kembali ke jalur yang benar, bukan sekadar permainan ego dan uang.


Koalisi politik yang idealnya dibentuk berdasarkan kesamaan visi, misi, dan ideologi, kini telah berubah menjadi sesuatu yang cair, acak, dan penuh kompromi. Kita menyaksikan bagaimana koalisi gemuk yang ada di Bangkalan, seperti yang dibangun oleh PDI-P, PKB, PAN, Golkar, dan Demokrat, bukanlah hasil dari kesatuan ideologis atau semangat perjuangan yang sama, melainkan semata-mata untuk memenangkan kontestasi pilkada. Partai-partai ini tidak lagi peduli pada nilai-nilai dasar yang seharusnya mereka pegang teguh; semua itu terpinggirkan demi ambisi kemaruk untuk merebut kekuasaan.


Dengan jumlah kursi yang mereka miliki—PDI-P dengan 7 kursi, PKB dengan 9, PAN dengan 5, Golkar dengan 5, dan Demokrat dengan 4—koalisi ini memang terlihat kuat di atas kertas. Namun, kekuatan tersebut lebih mencerminkan upaya untuk mengumpulkan kekuatan daripada menyatukan prinsip. Bahkan, partai-partai lain seperti Gerindra, Nasdem, dan PPP, yang juga memiliki kursi yang cukup signifikan, besar kemungkinan akan ikut bergabung. Mereka tidak ragu untuk menyesuaikan visi, misi, dan ideologi demi mencapai tujuan kekuasaan yang sama, karena menyatukan kepentingan kekuasaan jauh lebih mudah dan cepat dibandingkan menyatukan kepentingan ideologi dan prinsip.


Inilah wajah politik kita yang kian merosot; partai-partai yang dulu dibanggakan karena ideologinya, kini hanya menjadi alat transaksi untuk memperjualbelikan kekuasaan. Ketika visi dan misi hanya menjadi alat untuk merayu pemilih, dan ketika ideologi disingkirkan untuk membuka jalan bagi kesepakatan yang penuh kompromi, maka yang tersisa hanyalah politik tanpa jiwa. Rakyat pun dipaksa menonton permainan kekuasaan yang jauh dari harapan akan perubahan yang sesungguhnya. Koalisi seperti ini, meski terlihat solid, sebenarnya rapuh karena dibangun di atas pondasi kepentingan jangka pendek, bukan pada kesamaan nilai dan cita-cita. Dan ketika kepentingan kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan, yang tersisa hanyalah politik transaksional yang mengorbankan segala sesuatu yang seharusnya dijunjung tinggi.


Yang menjadi pertanyaan kunci, mengapa partai-partai seperti Gerindra, Nasdem, dan PPP, yang sama-sama dipimpin oleh keturunan Bani Cholil, tidak bersatu untuk mengusung calon kuat dari Bani Cholil, seperti Imam Bukhori? Atau bahkan, mengapa Gerindra, yang jelas-jelas merupakan partai besar dengan presiden terpilih dari partai ini, tidak langsung mengusung kadernya sendiri dan membentuk koalisi dengan partai-partai yang juga dipimpin oleh keturunan Bani Cholil? Ada potensi yang besar di sana, namun tampaknya ada perpecahan yang tak terhindarkan.


Sikap Nasdem yang sampai saat ini masih dingin, meskipun ketua DPC-nya adalah menantu dari Imam Bukhori, menunjukkan bahwa ada ketidakpastian dan mungkin keretakan di dalam dinasti Bani Cholil. Bisa jadi, ini adalah pertanda awal dari keruntuhan dinasti kekuasaan Bani Cholil di Bangkalan. Kehadiran Demokrat dalam koalisi gemuk tersebut semakin memperkuat anggapan bahwa kekuatan Bani Cholil mulai terkikis. Publik mulai mempertanyakan, mengapa Nasdem tidak segera memberikan dukungan penuh kepada Imam Bukhori yang kini tampak ‘kedinginan’ dalam kontestasi politik ini?


Melawan Kotak Kosong

Bila kita amati lebih lanjut, ada kemungkinan besar bahwa Gerindra, Nasdem, dan PPP pada akhirnya akan bergabung dengan koalisi gemuk tersebut. Langkah ini tampaknya dilakukan untuk membangun calon tunggal, demi kepentingan pragmatis dan transaksional. Isu tentang calon tunggal ini sangat mengkhawatirkan publik, karena jika benar-benar terjadi, Bangkalan akan menghadapi pilkada dengan satu calon melawan kotak kosong. Kondisi ini tentu merugikan demokrasi, karena partai-partai kecil seperti Gelora, PKS, Hanura, dan Perindo akan merasa sudah kalah sebelum bertarung. Mereka tidak akan mampu memenuhi syarat minimal sepuluh kursi untuk mencalonkan kandidat, meskipun berkoalisi sekalipun.


Dok: Wikipedia


Dari uraian di atas, wajar jika terjadi calon tunggal yang nantinya akan melawan kotak kosong. Ini adalah konsekuensi dari sikap partai-partai yang lebih mementingkan ketenaran pribadi para elitnya daripada tanggung jawab terhadap rakyat. Lihat saja PKB, partai pemenang di 2024, yang memilih untuk berkoalisi dan hanya mencalonkan kadernya sebagai wakil bupati, bukan sebagai calon utama. Alasan yang disampaikan oleh Ketua DPC PKB, H. Syafi’udin Asmoro, di berbagai media, bahwa Fauzan Jakfar lebih pantas sebagai wakil karena sadar diri, adalah alasan yang tidak masuk akal. Jika kita bandingkan pengalaman politik Fauzan dengan Lukman, perbedaannya sangat jelas. Jadi, tidak mengherankan jika alasan ini justru menimbulkan anggapan publik bahwa Bangkalan kini berada dalam bayang-bayang H. Sa’id, bukan berdasarkan keputusan rasional atau pertimbangan yang matang.


Lingkaran setan dan Demokrasi Semu

Jika skenario di atas menjadi kenyataan, maka pilkada Bangkalan akan menjadi sekadar demokrasi semu. Demokrasi semu terjadi ketika prosedur demokratis dijalankan tanpa memperhatikan substansi demokrasi itu sendiri. “Apa yang kita lihat di Bangkalan adalah oligarki politik yang menyamar sebagai demokrasi. Ini bukan demokrasi yang sesungguhnya, melainkan hanya sekadar formalitas yang diatur oleh segelintir elit partai. 


Ketika partai politik berkolusi untuk mengatur hasil Pilkada, mereka merampas hak dasar rakyat untuk memilih pemimpin yang benar-benar mewakili aspirasi mereka. Setelah Dinasti sekarang yang terjadi di Bangkalan adalah bayang-bayang lingkaran setan: lemahnya partisipasi masyarakat karena kedaulatan rakyat disita dan pimpinan partai lebih berpengaruh terhadap wakil rakyat dalam menentukan agenda partai.  Lalu bersama pengusaha dan penegak hukum mereka membentuk oligarki. Oligarki menyebabkan korupsi kartel-elite. Korupsi semakin memperlemah partisipasi karena korupsi memberi imbalan kepada tiadanya efisiensi. Yang kemudian melemahkan institusi-institusi demokrasi implikasinya Oligarki merajalela (Habis Dinasti, lahir Oligarki).


Pada akhirnya, sesuatu yang menjadi harapan besar masyarakat dan penulis yakni membangun Warga Bangkalan Kompeten sebagaimana yang digambarkan Mezey, Haryatmoko, dan Tocqueville dalam "Democracy in America kembali harus menerima pill pahit kegagalan jika masyarakat tidak mau melawan tontonan sandiwara murahan di atas. 


Dalam pengamatan penulis terhadap strategi yang dibangun oleh para elit partai ini sejatinya cukup memberikan peluang untuk keluar dari kungkungan Dinasti di satu sisi. Namun, di sisi lain, ada tanda ke arah destruktif yang lebih besar  dan tak kalah buruk. Koalisi gemuk yang dibangun dengan tujuan menciptakan calon tunggal ini justru merusak esensi dan fungsi partai politik itu sendiri. Ketika partai-partai politik, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, malah ikut dalam permainan pragmatisme untuk memuluskan kepemimpinan oligarki, maka demokrasi di daerah menjadi tercederai. Alih-alih memperkuat partisipasi rakyat dan menjaga keseimbangan kekuasaan, mereka justru membuka jalan bagi kekuasaan segelintir elit, yang lebih peduli pada kepentingan mereka sendiri daripada kesejahteraan masyarakat.


Sebenarnya, partai politik memiliki posisi dan peranan yang sangat strategis dalam setiap sistem demokrasi. Mereka bukan hanya sekadar alat untuk merebut kekuasaan, tetapi juga aktor penting yang seharusnya menjadi jembatan antara proses-proses pemerintahan dan aspirasi masyarakat. Pemilu adalah salah satu bentuk konkret dari pelaksanaan demokrasi, di mana partai politik seharusnya berperan aktif dalam memastikan bahwa suara rakyat benar-benar dihargai dan diakomodasi dalam setiap keputusan politik.


Banyak yang berpendapat bahwa partai politik adalah penentu utama dalam mewujudkan demokrasi yang sehat. Karena itu, partai politik seharusnya menjadi pilar yang sangat penting untuk diperkuat dalam derajat perlembagaannya (the degree of institutionalization). Dalam setiap sistem politik yang demokratis, penguatan kelembagaan partai politik ini menjadi krusial agar mereka bisa menjalankan fungsinya dengan baik, yakni memperjuangkan kepentingan rakyat, menjaga keseimbangan kekuasaan, dan mencegah dominasi kekuasaan oleh kelompok atau dinasti tertentu.


Namun, ketika partai politik gagal menjalankan fungsi ini, dan lebih memilih pragmatisme serta politik transaksional untuk mencapai kemenangan semata, maka mereka tidak hanya menghancurkan kredibilitas mereka sendiri, tetapi juga merusak pondasi demokrasi itu sendiri. Akibatnya, masyarakat menjadi semakin apatis dan kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi, yang seharusnya menjadi jalan menuju perubahan yang lebih baik. *() 



Rahman MubarokMagister Hukum Universitas Islam Indonesia, Kader KMBY



0 Komentar