Politik Ngireng dhebu: Esensi figur Kyai dan Lora


Antusiasme masyarakat Bangkalan menjelang pilkada 2024 kali ini agaknya berbeda, terutama jika menyimak dinamikanya di jagat maya. Dalam satu hari bisa ‘menyembur’ puluhan ribu status atau story, belum lagi tautan berita atau informasi terkait pilkada yang disebarkan oleh para ‘juru kampanye dadakan’ di jagat maya. 


Namun dalam hemat penulis (yang tidak terlalu hemat) ada beberapa hal yang memancing banyak keberatan dan ketidaknyamanan secara pribadi. Permasalahannya, kampanye hitam putih seringkali menjadi pilihan dan dilakoni oleh para pengguna dengan bermodal ‘kebencian’ terhadap salah satu kandidat yang tak jarang diekstrapolasi sedemikian rupa hingga tahap mengada-ada. 


Efek dari polarisasi pemilih ini salah satunya adalah imaji gampangan berupa oposisi biner si Anti Maulid dan si Paling Maulid, antara si baik versus si jahat, pencitraan versus ketegasan, dan lain sebagainya. Kesalahan sekecil apa pun dari kandidat yang tak disukai akan dibesar-besarkan, dan sebaliknya, suatu perkara sangat remeh namun dipandang baik dari kandidat idolanya akan digadang-gadang sedemikian rupa. 


Fanatisme musiman seperti ini berimbas juga pada kalangan yang masih belum menentukan pilihannya, terutama karena antusiasme berlebihan minus etika dan keadilan dalam menyikapi ‘lawan dari jagoannya’ di sebagian pengguna malah seringkali memancing rasa muak. Namun di mana-mana muncul apologi: “inilah demokrasi.”


Kondisi ini semakin diperkeruh oleh oknum Kyai atau Lora yang yang terlibat dalam politik praktis dan menjadi juru kampanye. Tidak perlu membawa cuplikan video KHR. Muhammad Kholil As'ad tentang relasi Islam dan politik, semua setuju bahwa Kyai berpolitik, Nabi pun berpolitik. Hanya saja politik yang dilakoni oleh Nabi Muhammad bukanlah politik Praktis dan serampangan. 


Kita semua pasti mafhum dan sepakat bahwa figur Kyai atau seorang lora bukanlah sekadar sosok dengan serban dan sorban yang menghiasi panggung keagamaan, namun lebih dari itu, ia adalah obat bagi heterogenitas (perbedaan pilihan), dan cahaya yang mampu menembus keragaman dan perbedaan. 


Seorang Kyai atau lora ia hadir bukan untuk satu golongan, atau kelompok tertentu tetapi untuk semua— khusus masyarakat Bangkalan dari rakyat jelata hingga kepala desa, dari yang lemah hingga yang kuat, semua bernaung di bawah bayangan kebijaksanaannya kurang banyak begitulah konsepsi umum tentang figur Kyai yang bisa kita peroleh. 


Jadi, sangat disesalkan mana kala seorang Kyai atau lora koar-koar dan memberikan kampaye semi dokrinal hanya pada satu warna, golongan dan pilihan di depan para jamaahnya, mengingat konsepsi Kyai atau lora adalah obat untuk semua perbedaan. Tentu saja hal yang demikian akan sangat melukai perasaan dan hati sebagian jamaahnya yang berbeda pilihan. Tindakan ini kurang tepat dilakukan oleh figur Kyai atau Lora sekalipun dikatakan niat dan maksudnya adalah membela Sholawat.


Memang kedengaran dan kelihatannya tindakan itu nampak saleh. Dia mengeklaim membela dan melayani sholawat dan Nabi. Tetapi yang sebenarnya dia lakukan adalah menempatkan sholawat dan Nabi untuk melayani dirinya sendiri. Penulis sangat respek pada kekhawatiran akan hilangnya sholawat di Bangkalan di atas. Namun, pilihan Cabub dan cawabub tak akan mengurangi orang-orang untuk bertawassul dan membaca sholawat. Tak kurang dari ratusan juta manusia membaca sholawat di martajasah selama 24 jam. 


Lagi pula politik adalah urusan "ijtihadi" dan "ikhtiyari", artinya urusan ijtihad dan pilihan-pilihan, maka urusannya 'tepat' dan 'kurang tepat' (ishobah wa 'adamil ishobah), bukan 'benar' atau 'salah', lebih-lebih bukan 'haq' atau 'batil', 'sesat-kufur' atau 'beriman'. Politik elektoral bukan soal akidah, tidak berurusan dengan akidah dan klaim kesesatan, tapi soal fikih dan etika. 


Sementara, Politik ndhérék", atau Ngireng Dhebu Kyai atau lora itu sah-sah saja. Sikap ini memiliki beberapa corak. Ada yang coraknya "taklid": santri ikut pilihan politik kyai secara lahiriah tanpa tahu alasan  kyai atas pilihan politik itu, mirip dalam fikih, orang mengikuti qaul mazhab tanpa mengetahui dalilnya. Ada yang coraknya "ittiba' ": santri ikut pilihan politik kyai dengan pengetahuan memadai kenapa kyainya menjatuhkan pilihan politik itu. 


Ada juga yang motifnya merasa bodoh dan berniat "istifaadah" (mengambil faidah ilmu) dari pilihan politik gurunya: niat ngaji politik dari gurunya, belajar kenapa gurunya memilih ini dan bukan itu. Semua pilihan ini dibenarkan setiap individu pasti memiliki preferensi yang beragam. Yang bermasalah adalah jika kebenaran disamakan dengan pilihan Kyai atau lora. 


Jangan coba-coba samakan "kebenaran atau kebaikan" dengan "pilihan Kyai" sebab antara kebenaran/kebaikan dan pilihan Kyai adalah relasi am wa khusus min wajhin atau relasinya irisan bukan musawiyan (sama peris) dalam artian kebenaran adalah tujuan, sementara Kyai atau lora hanyalah salah satu wasilah memperoleh kebenaran dan bukan satu-satunya. Kadang tindakan Kyai atau lora adalah baik atau benar dan boleh jadi ia keliru dan tidak baik. 


Mari kita lihat dengan hati tenang dan pikiran yang jernih apakah pilihan atau sikap seorang Kyai atau lora adalah bentuk sikap politik yang dibalut atas nama agama atau sebaliknya politik hanyalah alat untuk kepentingan agama. *() 





Ibrahim, Warga Bangkalan Tukang kebun di Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta (KMBY) 


0 Komentar