Kami, Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta (KMBY), menyampaikan rasa duka yang mendalam atas peristiwa tragis yang menimpa saudari kami, seorang mahasiswi Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Bangkalan, yang kehilangan nyawanya akibat kekerasan oleh pasangannya sendiri. Berdasar informasi yang diterima tragedi ini terjadi karena hubungan gelap yang berujung pada kehamilan, yang pada akhirnya menjadi alasan bagi pelaku untuk melakukan pembunuhan, demi menghindari rasa malu yang dianggap tak bisa diterima oleh norma sosial (baca: Madura Pers).
Kejadian ini sejatinya sekaligus membuka mata kita pada sebuah realita yang lebih besar: bagaimana budaya "malu" dalam masyarakat kita, khususnya di Madura (Bangkalan), bisa begitu kuat sehingga menempatkan rasa malu bahkan lebih tinggi dari pada nilai nyawa dan kehidupan manusia itu sendiri. Ini bukan hanya soal pembunuhan yang tragis, tetapi juga tentang bagaimana rasa malu, aib, dan norma sosial yang mengakar di masyarakat bisa memicu kekerasan.
Kehidupan Manusia Lebih Berharga dari Rasa Malu
Rasa malu yang mengarah pada tindakan kekerasan, bahkan pembunuhan, adalah masalah yang serius. Budaya di mana rasa malu dianggap lebih penting daripada kehidupan manusia sering kali menyebabkan individu merasa terpojok, teralienasi, terasing, tidak dianggap dan tidak ada jalan keluar selain bertindak ekstrem. Dalam kasus ini, kehamilan yang dianggap sebagai aib, dan ketakutan akan stigma sosial yang begitu kuat dan nir-emaptik, memiliki potensi untuk mendorong pelaku mengakhiri hidup korban.
Kita harus tegas dan sangat jelas dalam melihat bahwa kehidupan manusia lebih berharga daripada rasa malu. Tidak ada alasan apapun yang membenarkan pembunuhan, apalagi yang disebabkan oleh ketakutan terhadap stigma atau penghinaan sosial. Setiap individu, baik perempuan maupun laki-laki, berhak untuk hidup tanpa ancaman kekerasan atau penindasan, apalagi hanya karena masalah pribadi yang seharusnya bisa diselesaikan secara manusiawi.
Fenomena ini mengingatkan kita pada praktik kekerasan tradisional seperti carok, yang masih terjadi di beberapa daerah, termasuk Madura. Dalam budaya ini, jika seseorang merasa kehormatannya tercoreng, maka balas dendam dengan cara kekerasan sering dianggap sebagai jalan keluar yang sah. Tindakan ini biasanya didorong oleh ketidakmampuan untuk menghadapi stigma atau rasa malu yang berat. Namun, apakah kita ingin membiarkan pola pikir seperti ini berkembang di masyarakat kita? Apakah kita ingin budaya yang lebih mengutamakan rasa malu daripada martabat dan kehidupan manusia itu sendiri?
Kekerasan dalam Bentuk Apa Pun Tidak Dapat Dibenarkan
Kami ingin menegaskan dengan tegas: kekerasan, terutama kekerasan berbasis gender, adalah pelanggaran yang sangat serius dan tidak ada satu alasan pun yang membenarkan tindakan tersebut. Dalam hal ini, kekerasan fisik dan seksual yang dialami oleh korban adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang harus ditindaklanjuti dengan hukum yang adil dan tegas. Kehamilan, terlepas dari bagaimana atau mengapa itu terjadi, tidak pernah bisa menjadi alasan untuk menyalahkan atau menganiaya korban. Keputusan untuk melakukan kekerasan, apapun alasannya, tidak bisa dibenarkan.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran banyak cendekiawan sosial yang menekankan bahwa nilai kehidupan harus ditempatkan lebih tinggi daripada norma sosial yang bersifat sementara atau bahkan diskriminatif. Albert Schweitzer, seorang filsuf dan humanis, mengajarkan bahwa "reverence for life" atau penghormatan terhadap kehidupan adalah dasar dari moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, setiap tindakan yang mengancam atau merusak kehidupan manusia, termasuk dalam bentuk kekerasan atau pembunuhan, harus dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Mengubah Budaya yang Mengutamakan Malu Lebih Dari Kehidupan
Budaya yang menganggap malu sebagai alasan untuk menghilangkan nyawa seseorang harus kita ubah. Rasa malu yang tidak terkendali dan menjadi pendorong kekerasan harus digantikan dengan pemahaman yang lebih manusiawi dan empatik. Dalam masyarakat yang maju, kehidupan manusia dan martabat setiap individu harus lebih dihargai daripada apapun, termasuk pandangan sosial yang menganggap bahwa kehormatan keluarga atau rasa malu adalah hal yang paling penting.
Sebagai masyarakat, kita perlu mendidik diri kita sendiri dan orang lain untuk mengutamakan rasa empati, saling menghormati, dan menyelesaikan masalah secara damai. Budaya yang mendidik kita untuk menghormati hak hidup setiap orang, dan tidak membiarkan rasa malu atau kehormatan sosial digunakan sebagai pembenaran untuk tindakan kekerasan, adalah langkah penting menuju perubahan yang lebih baik.
Keadilan Sudah Ditegakkan, Tapi Proses Perubahan Harus Terus Berlanjut
Kami menyadari bahwa keadilan sudah ditegakkan dalam kasus ini, dengan pelaku yang telah diproses hukum. Namun, ini bukan akhir dari pembahasan kita. Ini adalah kesempatan untuk melakukan introspeksi bersama sebagai masyarakat. Tragedi ini bukan hanya tentang kehilangan nyawa seorang individu, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai masyarakat dapat mengubah cara pandang kita terhadap rasa malu, kehormatan, dan hak setiap individu untuk hidup.
Mari kita gunakan peristiwa tragis ini sebagai momentum untuk menumbuhkan budaya yang lebih menghargai kehidupan, martabat, dan kesetaraan, serta menghapuskan budaya kekerasan yang sering kali disebabkan oleh ketakutan terhadap stigma sosial atau rasa malu yang berlebihan.
Kami berharap peristiwa ini dapat menjadi titik balik dalam upaya kita bersama untuk membangun masyarakat yang lebih adil, empatik, dan manusiawi. Kami juga menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada keluarga korban, dan berharap mereka diberikan kekuatan serta ketabahan dalam menghadapi ujian berat ini. (*)
Team Kajian Sosial dan Kesetaraan Gender KMBY
0 Komentar