Tanggapan atas Tulisan Enigmatik Wahyu Abadi Tentang Madura Bagian Barat


Selain manusia memakan sesamanya (homo homini lupus) hari ini manusia juga telah menjadi Tuhan bagi sesamanya (homo homini deus). Karena manusia telah menjadi Tuhan bagi sesamanya, atau merasa menjadi lebih unggul dari sesamanya maka dibutuhkan pengorbanan maupun pihak yang dikorbankan atau direndahkan atas nama sihir sosial (kambing hitam). 


Tulisan ini adalah komentar sederhana untuk tulisan dari orang yang mengaku malu menjadi orang madura tapi bangga menjadi orang Sumenep. Lalu dengan narasi yang penuh emosional penulis mengungkapkan kekecewaannya pada Madura (khususnya bagian barat) karena menurutnya Bangkalan di ujung barat selalu menjadi sumber bagi hal-hal yang kontraproduktif, seperti carok, tindak kekerasan dan budaya primitif lainnya. 


Berbeda dengan sumenep, menurutnya sumenep adalah anomali bagi Madura secara umum dan antitesis dari Madura bagian barat, dalam anggapannya sumenep adalah kabupaten yang lebih elegan dengan narasi begini:


"Saya merasa malu mengaku sebagai orang Madura. Namun, di sisi lain, saya bangga mengaku sebagai orang Sumenep. Di mata banyak orang, Sumenep dianggap lebih elegan, lebih berbudaya, dan lebih maju pemikirannya. Kami punya akar keraton yang kuat, dan reputasi kami jarang tercemar oleh tindak kekerasan yang sering dikaitkan dengan Madura secara umum". (Baca: di kaskus) 


Terlepas saya setuju dengan beberapa pendapatnya atau tidak saya turut menyesalkan sikapnya yang tidak logis dan total dalam mencintai Madura ibu kandung yang telah merawat dan membesarkannya. Perbedaan dan pembedaan antara kebaikan dan kejahatan memang menjadi salah satu persoalan moral yang enigmatik dalam pergaulan hidup manusia, dilihat dari latar belakang subjek moralnya. 


Kebaikan dapat mengaburkan, menghapus, dan menjadikan tidak penting latar belakang sang subjek, seperti angin yang menghapus jejak seorang pengelana di padang pasir dan membuat tanah yang diinjaknya seolah-olah kembali baru seperti terlihat untuk pertama kalinya. 


Ketika seseorang berbuat baik, kebaikan membuat latar belakang (suku, agama, dll) pelakunya menjadi tidak penting, atau sekunder, dibandingkan kebaikan itu sendiri, seolah-olah kebaikan itu muncul tidak dari norma apapun, tidak dilatari oleh motivasi atau kepentingan apapun, murni pada dirinya. “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya agamamu”, ujar Gus Dur dalam sebuah maksim moralnya. 


Ketika seseorang berbuat baik, “momen etis” yang terjadi tepat pada saat kebaikan itu dilakukan membuat subjek moral yang terlibat tidak lagi peduli pada asal-usul mereka. Perbedaan religius, ideologis, ras, gender, dan lain-lain seketika menjadi lenyap dalam kesederhanaan kebajikan yang dilakukan. 


Berbeda halnya dengan kejahatan. Ketika seseorang berbuat jahat – yang dapat berarti berbuat tidak baik, atau lebih-lebih, berbuat aniaya (seperti kasus pembunuhan di Bangkalan) – maka latar belakang subjek moral menjadi penting dan diperhitungkan. Seseorang yang berbuat jahat, akan selalu dikait-kaitan dengan latar belakangnya, meskipun itu sekadar proyeksi prasangka: “Oh dia berbuat begitu karena dia orang Madura bagian Barat”, “… karena dia orang Bangkalan”, “… karena dia Bukan bagian Timur”, dst. 


Latar belakang menjadi alasan untuk mengidentifikasi kejahatan dengan subjek moral yang didakwa, membakukan dimensi-dimensi kemanusiaannya ke dalam satu identitas, lalu menciptakan suatu putusan yang berlaku seolah-olah universal dan apodiktik: “Dia berbuat jahat, karena dia Madura bagian barat. Maka setiap orang Madura bagian barat pastilah jahat”, dst.


Itu berarti bahwa kebaikan tidak terikat, tidak bersyarat. Sementara kejahatan terikat, bersyarat. Mengapa dalam hal kebaikan, latar belakang menjadi tidak penting, sementara dalam hal kejahatan latar belakang menjadi penting? Mengapa dalam hal kebaikan, satu-satunya yang dilihat dari seorang manusia adalah kemanusiaannya, lepas dari identitas sosialnya yang sekunder; sementara dalam hal kejahatan, kemanusiaan itu lenyap, tertutupi oleh identitas sosialnya yang kemudian menjadi primer? 


Mengapa seseorang yang melakukan kejahatan tidak dilihat pertama-tama sebagai manusia yang dapat berbuat jahat? Mengapa orang tidak mengakui bahwa kejahatan adalah suatu potensi dalam realitas kemanusiaan itu sendiri? Kalau yang terakhir ini dapat diikuti, maka daripada mengatakan “Oh dia berbuat jahat karena dia Madura bagian barat”, seseorang dapat mengatakan “Oh dia berbuat jahat karena dia seorang manusia”. 


Poin berikutnya, adalah dia (Wahyu Abadi) mang-afirmasi Sumenep tapi tidak dengan Madura sampai di sini logika kita akan menangis dengan argumentasi yang seolah-olah benar ini tetapi faktanya tidak logis. Mari kita lihat hubungan atau relasi keduanya antara Sumenep dan Madura, Sumenep adalah sub-wilayah yang lebih kecil yang menjadi bagian dari Madura hubungan ini dalam ilmu Logika (mantiq) adalah hubungan Implikasi (Am wa Khusus Mutlaq). Artinya antara A lebih umum dari pada B contohnya hewan (hayawan) dan Manusia (Insan). Manusia masuk ke dalam cakupan makna hewan. Sebab hewan merupakan genus bagi spesies Manusia dan posisinya berada di atasnya. Sedangkan Spesies dari hewan itu bermacam-macam ada sapi, unta, dan manusia termasuk di dalamnya. 


Yang dimaksud implikasi adalah “salah satu dari dua kata dari berbagai sisi yang berstatus lebih umum dari pada yang lain” oleh karena itu kata yang lebih khusus menjadi bagian dari kata yang lebih umum. Seperti contoh emas adalah bagian dari logam, atau contoh lain "manusia adalah bagian dari hewan", lalu bagaimana mungkin mengambil yang khusus dengan membuang yang umum. Atau bagaimana mungkin memisahkan manusia dengan genus hewannya. Secara logis tentu keinginannya konyol dan tak logis. Namun, saya berusaha memahami penulis, cinta memang tak perlu masuk akal (logis). 


Tapi, saran saya (jika boleh memberi saran), cintailah secara gentle dan total. Ibarat cinta pada pasangan cintailah dia secara total jangan hanya pada saat-saat dia baik dan menguntungkan bagimu. Lalu ketika tak menguntungkan dirimu, kamu lantas membuangnya dan hendak memisahkan diri. Bagi saya itu buka cinta yang tulus tapi cinta egoistis dan pengecut yang hanya memikirkan dirinya sendiri. 


Tulisan ini sekali lagi bukan pembelaan, saya sangat setuju bahwa Bangkalan atau Madura bagian barat memang memiliki banyak sekali keburukan dan stigma negatif, tapi saya juga tidak mengingkari dan tutup mata pada hal-hal baik yang pernah ada di Bangkalan, katakanlah di Bangkalan pernah lahir tokoh yang mengharumkan Nama Madura yakni Syaikhona Kholil dan stigma positif lainnya. Terakhir, dengan menerima Madura seutuhnya, saya pun tak perlu repot-repot menuliskan stigma negatif Madura Bagian timur di sini. Salam Andhep Ashor



Hanif Muslim, Tukang Kebun di Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta (KMBY) 





 

0 Komentar